Judul Buku: Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga
Penulis: Erni Aladjai
Pertama Terbit: Januari 2021
Harga: 65.000 (Buku Fisik), 56.000 (e-Book via Gramedia Digital), 42.000 (e-Book via Google Playbook)
Gramedia Digital: Tersedia
iPusnas: Belum Tersedia
Penerbit: KPG
Genre: Novel, Sastra, Fiksi
---
Bacaan akhir pekan saya kali ini menaaaaaariiiiik sekali!!!
Saya membaca buku berjudul Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga karya Erni Aladjai, kenapa membaca buku ini? sejujurnya tidak ada alasan khusus, buku ini muncul di rekomendasi bacaan Gramedia Digital saya setelah saya mengunduh novel salah satu novel (yang saya lupa apa). Saya membaca beberapa halaman pertama dan tak bisa berhenti membaca setelah itu.
Buku ini ditulis oleh Erni Aladjai, penulis dari Timur Indonesia, buku ini adalah pemenang ketiga sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019 dan baru saya terbit Januari 2021 ini! Hanya 156 halaman saja, tidak terlalu tebal menurut saya tapi bisa menghipnotis saya untuk menyelesaikan buku ini dalam dua malam.
Untuk buku bergenre fiksi, kita bisa belajar banyak hal yang rasanya terlalu nyata! haha, membaca buku ini membuat saya merasa membaca buku Andrea Hirata, kalau Andrea dengan serial Laskar Pelanginya bisa membawa saya berkelana di Belitong, Sumatera. Buku Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga ini bisa sekali membawa saya berkelana di kebun-kebun cengkeh di kampung di Sulawesi (atau mungkin Indonesia Timur lainnya, karena tidak begitu dijelaskan latarnya dimana).
Haniyah dan Ala
Buku ini berpusat pada Haniyah dan Ala, Ibu dan anak yang tinggal bersama di sebuah kampung, Ayah mereka sudah lama tiada dan mereka hanya hidup berdua. Ala lahir dalam kondisi juling sebelah matanya dan ini cukup membuat ia sering dirundung di sekolahnya, belakangan bukan hanya oleh teman-temannya, tapi juga oleh gurunya, yang membuat ia malas sekali sekolah. Ia tak suka guru dan teman-temannya. Waktu lahir dalam kondisi juling, Haniyah sempat menyangka ini akibat kutukan karena ia pernah memukul mata binatang ketika ia hamil dulu, sejak itu Haniyah berkomitmen tidak menyakiti mahluk hidup bahkan benda mati, ini turun ke kesehariannya seperti tak pernah membuang air panas ke tanah karena takut binatang-binatang di tanah akan mati :').
Nah, mata juling Ala ini bukan hanya membawa tantangan perundungan tapi juga tantangan lainnya, ia jadi bisa melihat "sesuatu" yang tidak bisa dilihat orang-orang biasa. Disinilah muncul tokoh yang cukup jadi pusat dari novel ini juga, Ido si arwah gentayangan.
Sejujurnya, sebagai orang yang amat penakut, saya sempat berpikir untuk tidak melanjutkan buku ini kalau ternyata ini adalah cerita horor seperti yang saya bayangkan haha. Saya beneran berhenti baca karena ditinggal Mas Har dan Dimas main games!! baru Minggu malam saya lanjutkan baca buku ini sampaaaaai habis, dan tenang saja! bahkan jika teman-teman adalah orang yang penakut seperti saya, buku ini bukan buku horror kok! tetap layak layak layak sekali dibaca.
Daya Tarik Cengkeh
Nah, selain tokoh utamanya yang amat menarik, hal lain yang menarik dari novel ini adalah Cengkeh. Haniyah adalah seorang petani cengkeh. Diceritakan di buku ini (yang mana berdasarkan kenyataan) tahun 90an adalah tahun yang amat baik bagi para petani cengkeh, harga cengkeh amat mahal kala itu, panen cengkeh adalah perayaan bagi seluruh warga kampung, baik pemilik lahan, buruh petik, buruh jemur, bahkan yang tak punya lahan bisa ambil cengkeh-cengkeh yang berjatuhan untuk dijual pada pemilik. Anak-anak juga ikut merayakan panen cengkeh ini.
Saya pernah tinggal setahun lamanya di Sulawesi, di sebuah desa diatas bukit yang juga menghasilkan cengkeh, membaca hal ini saya agak menyesal tidak pernah ikut panen cengkeh selama disana :') tapi setidaknya sedikit senang karena tau bentuk pohon cengkeh seperti apa.
Kita juga akan ikut dibuat merasa geram ketika ada aturan dari orde baru yang tak jauh beda dengan penjajah zaman Belanda dulu, mengharuskan petani cengkeh menjual hanya kepada Koperasi Unit Desa dengan harga jaaaaaauh dibawah normal. Di buku ini diceritakan betapa banyak petani yang kecewa dan menolak menjual cengkehnya, membakar kebunnya atau mengganti dengan komoditas lain. Saya sama sekali tidak bisa membayangkan hal seperti itu pernah terjadi di Indonesia.
---
Ini buku fiksi dengan rating 5/5 saya di tahun 2021. Kaget juga karena ternyata buku ini baru sekali terbit dan saya bisa langsung baca lewat Gramedia Digital. Selain kisah Haniyah, Ala dan Cengkeh ada banyak sekali kisah menarik di buku ini. Kisah Naf Tikore yang menyendiri di Kebun Cengkehnya, kisah arwah Ido yang gentayangan tapi malah berteman dengan Ala, cara Haniyah menyelesaikan perundungan anaknya, bagaimana menjadi anak perempuan yang haid pertama malah dirundung satu kelas, belum lagi keunikan cerita tentang ramuan dan mantra-mantra di buku ini.
Ini baru cek khasanah kebudayaan dari satu wilayah saja! Kebayang gak sih sekaya apa kebudayaan kita sebenarnya! Saya mau apresiasi penulis yang bisa memasukkan semua hal ini dalam sebuah buku fiksi! Sungguh cerita yang indah dan tetap membuat saya terhibur, ketakutan sekaligus belajar banyak hal!
Kalau kamu mencari bacaan yang tidak terlalu panjang tapi seru, Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga bisa jadi pilihan teman-teman semua!
Sekian Review Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga! Selamat Membaca!!
Oiya, saya buat reviewnya juga di Youtube channel saya, bisa teman-teman cek disini ya: