![]() |
Chantarellus cibarius |
![]() |
Leccinum aurantiacum |
![]() |
Amanta muscaria |
![]() |
Imleria badia |
![]() |
Amanita phalloides |
![]() |
Leccinum scabrum |
Memasuki Februari, bulan kasih sayang yang sangat pendek ini. Sejauh ini menjadi pengangguran penuh waktu di 2025 masih menyenangkan (semoga menyenangkan terus amiiiiin). Jeda karier pertama yang sungguh produktif karena saya bisa melakukan banyak hal yang ingin saya coba! Tentu ada beberapa yang juga tidak bisa dicoba karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan di trimester ketiga ini. Tapi saya bisa melakukan banyak hal di rumah dan itu sudah lebiiiih dari cukup.
Rutinitas Bulan ini dan Rencana kedepan
Bulan ini saya masih rutin membaca dan menulis jurnal setiap hari. Tambahan aktivitas baru selama jeda karier: Menggambar, juga masih rutin saya lakukan. Bulan ini saya mencoba banyak hal! salah satunya kembali menggambar digital menggunakan iPad + Procreate (yasss, gambar diatas adalah gambar digital pertama saya setelah sekian lama rehat). Saya juga mencoba beragam media untuk menggambar: watercolor (tentunya), guache, oil pastel dan pensil warna.
Mencoba eksplor mix media seru juga ternyata, saya juga mencoba beragam kertas untuk karya-karya saya, mulai dari kertas bristol, kertas watercolor dari beragam brand yang berbeda dan juga cat air baru. Banyaknya hal yang saya coba, terutama untuk Cat Air, membuat saya berpikir untuk membuat guide sederhana (mungkin dalam bentuk Zine) atau sesimple postingan di blog atau sosial media tentang bagaimana caranya memilih Art Supply untuk pemula, tapi dalam Bahasa Indonesia, karena kebanyakan referensi bisa ditemukan dalam Bahasa Inggris (semoga sempat dikerjakan bulan ini ya).
Kenapa mau berbagiii dalam Bahasa Indonesia? karenaa selama sharing di Medsos banyak sekali yang bertanya tentang art supply untuk melukis dengan cat air ini, yang menurut saya memang challenging untuk pemula. Kertas yang mana? cotton atau cellulose? hot press, cold press atau rough? berapa gsm yang aman untuk melukis? kalau mau beli cat dengan budget terbatas baiknya brand apa? kalau level middle brand apa? kenapa ada winsor & newton professional dan cotman? apa bedanya? hehe, beberapa waktu kebelakang berkutat dengan cat air, pengetahuan saya tentu tidak ada apa-apanya dibanding para master di bidang seni. Tapi setidaknya cukup untuk bikin guide sederhana.
Gambar apa saja di Februari?
Ada beberapa gambar yang jadi Favorit saya di Februari, berikut listnya:
Oil pastel lagi
Percobaan menggunakan Oil Pastel lagi! masih menggunakan satu-satunya oil pastel yang saya punya di rumah: Mungyo Oil Pastel. Seru sekali kali ini main oil pastelnya, karena sudah punya paper stump, jadi blendingnya lebih lancar. Gambar diatas saya buat di kertas bristol dari Canson yang super halus, enak banget gambar di kertas bristol, sayangnya saya salah memilih masking tape, sehingga bagian yang saya masking tape malah robek, jadinya saya gunting artworknya dan saya tempel di depan meja kerja.
Inspirasinya diambil dari Pinterest, sayangnya kepencet dan hilang sebelum karyanya selesai, sehingga saya agak kesulitan mencari sumber gambar pertamanya.
Swatching Pebeo Studio Watercolour
Kali ini gak bisa dibilang gambar, aktivitasnya swatching saja sebetulnya, tapi saya menikmati sekali. Saya pernah beli cat air student grade dari brand Pebeo beberapa tahun lalu (lupa, kemungkinan 2022) di Artemedia Baltos. Isinya 18 tube x 12ml, harganya kalau tidak salah sekitar 200.000an atau lebih murah, tapi tidak pernah saya swatch sama sekali, kemarin saya swatch 12 warna yang saya masukkan ke metal tin isi 12 half pan dan baru sadar warnanya ternyata cantik juga ya, lumayan mirip pentel tapi lebih menyala, lebih opaque. Dulu saya merasa warnanya gak cantik-cantik amat dan susah sekali diblend, ternyata karena saya menggunakan kertas yang salah, setelah dicoba lagi di kertas watercolor 100% cotton, warnanya cakep juga.
Colored Pencils on Bristol Paper
Karena Februari ini baru punya kertas bristol LOL, dan baru tahu kalau kertas bristol sehalus itu, saya senang sekali ketika mencoba menggunakan pensil warna di kertas ini. Kertasnya sama, Canson XL Bristol A4, saya coba gambar ilustrasi makanan menggunakan dua pensil warna, yang atas menggunakan Pensil Warna Arrtx dan yang bawah menggunakan Prismacolor Premiere dengan list warna yang sama. Hasilnya lumayan kelihatan bedanya, gara-gara kertas bristol ini saya jadi ingin mencoba kertas-kertas lain untuk media kering yang belum banyak saya eksplor.
Trying Out Colours
Terinspirasi dari akun PandaJieyu di TikTok yang mencoba tiap warna cat air yang dia punya di satu karakter yang khas, saya ingin bikin juga buat melatih kontrol dan opacity cat air yang saya punya. Project ini seharusnya jadi banyaaak karena cat air yang saya punya juga sebetulnya banyak dan dari beragam brand, tapi diatas baru coba-coba yang Holbein saja, cobanya di kertas Celluloce, kedepannya mau coba di kertas cotton juga karena hasilnya sepertinya akan berbeda.
Botanical Painting My Fav!
Favorit terakhir, tentu sajaa favorit saya sepanjang waktu: gambar botanical yang makan waktu lamaaa sekali haha. Bulan ini ada tiga karya botanical yang saya cukup puas bikinnya. Marigold, Citrus medica dan Bitter Orange. Ketiganya pakai cat air. Dari semuanya paling suka sama Marigold karena ngerjainnya cukup details, kertasnya juga enak banget (baru pertama kali nyobain kertas 100% cottonnya Winsor & Newton, cold press 300gsm), buat Citrus medica digambar di Canson XL Aquarelle, dan Bitter Orange di Leyton HotPress 350gsm 100% Cotton. Ketiganya menggunakan Winsor & Newton Cotman, khusus untuk Bitter Orange, saya tambahin watercolor ink dari Royal Talents Art yang saya punya sudah lama sekali (kayanya beli 2019 di Toko Prapatan Jakarta), labelnya sudah saya lepas karena sempat berjamur, jadinya malah kehilangan informasi ini warna apa, tapi sepertinya forest green.
---
Sekian update gegambaran Februari! semoga akhir Februari bisa update juga, atau kalau gak sempat nanti akan dirapel ke Maret sekalian. Terima kasih sudah membaca!
Ada yang pernah mengikuti kasus Ruby Franke?
Ruby Franke, seorang Mom Vlogger/Momfluencer yang sukses banget di Amerika dengan lebih dari 2juta subscribers di Youtube dan banyak banget followers di Media Sosial, pada Agustus 2023 ditangkap kepolisian setempat karena melakukan kekerasan pada anaknya.
Penangkapannya dramatis banget karena. Anak laki-lakinya disekap di rumah partner bisnisnya, dan kabur untuk minta tolong ke tetangga buat diantarkan ke kantor polisi. Tetangganya langsung telfon 911, paramedis dan polisi langsung datang dan menggeledah rumah partner bisnisnya Ruby, Judi Hildebrant dan menemukan satu lagi anak Ruby dalam keadaan kelaparan di sebuah ruangan kecil di rumah mewah tersebut.
Kasus ini ramai sekali karena sebelumnya memang Ruby sempat mengunggah konten yang bikin dia dicancel sama subcribernya, ia mengunggah video percakapan sama anak laki-laki tertuanya, Chad, dimana selama 7 bulan, Ruby ‘menghukum’ Chad dengan mengambil ‘tempat tidur’nya dan selama 7 bulan tersebut, Chad tidur di bean bag. Subscribersnya drop parah banget dan dia dihujat habis-habisan.
Netizen di Amerika yang kepo juga banyak ngomongin mereka di Reddit, beberapa curiga sama gaya parentingnya Ruby yang terlihat melakukan ‘abuse’ ke anak-anaknya.
Ketika kejadian penangkapan Ruby terjadi, boom, semua orang langsung ramai membahas tentang dampak family vlogging buat keluarga, terutama buat anak-anak. Beberapa bagian negara di Amerika juga belakangan semakin ketat mengatur aturan tentang privasi anak dalam konten-konten macam Family Vlogging ini.
Ini bukan pertama kalinya anak jadi korban eksploitasi orang tua. Selama ini orang kan sering serba salah ya kalau ngomentarin konten-konten keluarga yang dengan gamblang menceritakan keseharian anak.
Tapi sebenarnya bagaimana pandangan anak-anak yang jadi ‘korban’ eksploitasi ini sendiri?
The house of my mother
Awal tahun 2025, Shari Franke, anak pertama Ruby merilis sebuah autobiografi yang menceritakan apa yang terjadi pada keluarganya. Buku berjudul the house of my mother ini gak terlalu tebal, 319 halaman tapi mampu menjelaskan kurang lebih apa sih yang Shari rasakan sejak ia bisa mengingat moment bersama Ibu dan Ayahnya.
Buku ini mengisahkan bagaimana perasaannya ketika menjadi 1 dari 8 passenger yang kesehariannya ditampilkan orang tuanya di YouTube, bagaimana ibunya punya semacam dua wajah di depan dan di belakang kamera, bagaimana ia merasakan perubahan yang terjadi saat baru puber, dan yang paling signifikan merubah hidupnya: bagaiamana Ibunya bertemu Judi Hildebrant dan bergabung di ConneXion, yang merubah ia dan keluarganya lebih jauh lagi.
Lewat buku ini, Shari menceritakan latar belakang Ibunya, Ruby, yang karena ajaran di keluarga dan agamanya merasa callingnya ya sebagai Ibu. Gak heran ketika akhirnya Ruby memutuskan untuk punya banyak anak dan terlihat selalu bahagia ketika sedang mengandung anak-anaknya.
Ruby sendiri memulai semuanya dari blogging, ia menjadi mom-blogger yang sering sharing resep masakan, sharing tentang keluarga dan parenting. Di tahun 2015, melihat adik-adiknya sukses bikin YouTube Channel, Ruby memutuskan buat ikutan sharing keseharian keluarganya lewat video di YouTube. Dari awalnya subscribers kecil, lama-lama jadi banyaak sekali. Sampai terakhir angka tertinggi subscribersnya di 2,5juta!
Ibu dengan kepribadian narsistik
Menurut Shari, Ibunya punya kecenderungan narsistik, dimana seluruh dunia sepertinya berputar untuk Ruby. YouTube dan Sosial Media, ngebantu nge-enable sifat Ruby ini dengan semakin menjadi-jadi. Ia ingin terlihat menjadi Ibu yang sempurna dengan gaya parenting yang ok dan perlu ditiru subscribersnya.
Shari yang semakin beranjak remaja, juga makin belajar kalau dia justru bisa memanfaatkan celah ini. Kalau minta sesuatu, better minta didepan kamera aja, biar ibunya bilang iya.
Ibunya juga mulai me’monitize’ anak-anaknya dengan menjanjikan Shari sekian dollar kalau ikut senyum dan baik-baik di video, serta ketika Shari akhirnya ikutan bikin Youtube, Ibunya minta komisi manajemen dari uang adsense yang masuk. Shari gak bisa ngomong apa-apa karena dia underage dan urusan rekening dan buka adsense memang dibawah kewenangan orang tuanya.
Bertemu Judi
Ruby yang terlihat cukup sukses dalam menjalankan parentingnya, ternyata bisa pusing juga sama kelakukan anaknya ketika beranjak remaja. Chad, anak laki-lakinya dianggap ‘nakal’ dan susah banget diatur, sehingga suatu hari ia tanya rekomendasi ke temannya, ‘harus diapain ya’?
Disitulah nama Judi Hildebrant muncul. Judi dikenal sebagai seorang life coach yang ahli banget buat mengubah perilaku-perilaku remaca semacam Chad.
Gak lama, Chad dibawa ke sebuah ‘camp’ selama 3 bulan buat ‘dibantu’ bisa balik jadi anak yang penurut. Shari sejak awal merasa gak nyaman dengan Judi dan melakukan beberapa online research, menemukan beberapa anekdot gak ok tentang Judi dan coba buat ngomong ke Ibunya, tapi malah dipojokin dan dianggap gak mau melihat Chad berubah, gak lama Shari sendiri harus ikut 1:1 sama Judi dan disitu dia melihat betapa manipulatifnya Judi.
Bagaimana setelah baca bukunya?
Sepanjang baca buku, rasanya capek banget dan susah buat gak ikutan kesal sama Ruby. Kalau kamu pernah ketemu orang yang punya kecenderungan Narsistik, mungkin kamu tahu betapa drainingnya ada di sekeliling mereka :’) jadi gak kebayang kalau sosok NPD malah kamu temukan di sosok yang harusnya jadi guardian, jadi protector dan jadi orang pertama yang bisa direach out kalau ada masalah.
Tapi walaupun temanya berat, Shari berhasil menuliskan memoarnya dengan sangat baik menurut saya. Ia mencacah bagian demi bagian buku sehingga tiap chapternya cenderung pendek, gak kepanjangan dan membosankan.
Karena ia biasa nulis journal, kita juga akan menemukan beberapa catatan di journalnya. Ini menarik sekali karena kita bisa melihat apa yang Shari catat, kemudian bagaimana ia merefleksikan hal tersebut beberapa tahun setelahnya.
Saya sangat merekomendasikan siapa saja buat baca buku ini karena sebetulnya family vlogging adalah konten yang banyak sekali kita jumpai (mungkin beberapa dari kita konsumsi) secara rutin.
Belajar apa dari buku ini?
- Privasi anak penting banget
- PENTING BANGET BUAT punya pasangan yang sama-sama aware sama kondisi anak. Gak iya-iya aja dan gak punya power buat melakukan apa yang harusnya dilakukan orang tua buat anak.
- Consent anak saat bikin konten-konten keluarga yang akan diunggah juga penting banget (+ diskusinya akan lebih panjang, karena bisa jadi anak kasih consent tapi gak benar-benar sadar konsekuensi ketika satu konten diunggah)
- Hati-hati banget pilih teman dan circle (sudah sering sekali dengar dan baca cerita orang-orang yang ketemu cult aneh dan berakhir keluarganya bercerai berai)
- Etika posting kegiatan anak itu gimana? batasan boleh dan gak bolehnya seperti apa? apakah ada regulasi yang mengatur tentang ini? atau tiap orang tua harus punya kesadaran sendiri-sendiri untuk melindungi anaknya?
- Apakah ketika ikutan nonton video family vlogging, kita ikutan jadi enabler yang bisa jadi kasih dampak buruk untuk anak-anak di video? (dalam kasus Shari, ia merasa followers ibunya tuh juga enabler)
- Dari kasus ini, Amerika punya sistem yang cukup ok, walaupun tentu belum sempurna--mengingat laporan Shari awalnya gak ditindak lanjuti karena regulasi terbaru, tapi ada peran Negara buat bantu ngelindungin anak yang terbukti diabuse sama orang tuanya. Gimana di Indonesia? kalau ada anak-anak yang diabaikan dan dibiarkan kelaparan? Negara ngapain?
Halo! Sudah lama tidak baca romance, tahun ini Romance-Fest saya (romance-fest, karena gak mungkin bacanya berhenti di satu buku aja) dibuka dengan buku Abby Jimenez, Just for The Summer. Buku ini sebetulnya buku ke-3 dari series Part of Your World-nya Abby Jimenez, tapi seperti buku romance pada umumnya, dia bisa banget dibaca stand alone. Meskipun series, tapi tidak butuh baca buku-buku sebelumnya untuk bisa memahami cerita di buku ini.
Blurb
Sebagai pembaca buku-buku romance, suka sekali buku ini karena dari awal sudah diajak ketawa kocak dengan cerita bertemunya Emma dan Justin.
Emma mengenal Justin dari cerita panjang lebar di Reddit, yang isinya curhatan kalau semua perempuan yang in relationship sama Justin malah berakhir ketemu the one/pasangan hidupnya beneran. Uniknya, Emma merasa punya curse yang sama kaya Justin, ia lalu penasaran dan chat Justin untuk tanya lebih lanjut. Awalnya iseng, tapi ternyata Justin pribadi yang lucu dan menyenangkan di chat-chatnya. Pun Justin merasakan hal yang sama terkait Emma. Gak lama setelah itu teman-teman Justin menyarankan Justin buat coba jalin hubungan sama Emma, siapa tahu habis itu kutukannya mereka berdua udahan beneran, jadi bisa ketemu soulmate masing-masing setelah pacaran. Jadi tujuannya pacaran biar putus dan ketemu jodoh beneran masing-masing.
Emma ternyata setuju dan merasa nothing to lose dengan uji coba hubungan untuk memecahkan kutukan ini, sebagai nurse traveller (baru tahu ada pekerjaan ini, intinya perawat yang kerjanya pindah-pindah lokasi sesuai kemauan mereka dan sesuai kebutuhan dari agency), tadinya Emma dan sahabatnya Maddy akan bertugas di Hawaii di musim panas, tapi terus pindah ke Minnesota, tepatnya di Minneapolis.
Emma yang sabar dan Justin yang green flag
Di awal kita disuguhi dengan pasangan yang ketika bertemu memang sudah tertarik satu sama lain, plus kepribadian Emma yang dewasa dan sabar, serta Justin yang super duper green flag. Sebetulnya membaca buku ini, tanpa tahu nama penulisnya, akan bikin kita menebak penulisnya pasti perempuan karena saya yakin perspektif bagaimana Justin menyiapkan date-datenya dengan Emma, itu kurang lebih gambaran bagaimana kebanyakan perempuan berharap ketika diajak ngedate haha! the quizionaire!! Briliant! walaupun mungkin tidak semua perempuan suka ya, tapi poinnya di bagaimana Justin menyiapkan agar Emma nyaman ketika pergi dengan ke sebuah tempat.
Tapi lama-lama kita juga akan mendapatkan potongan cerita yang membuat hubungan Emma dan Justin tidak semudah yang dibayangkan. Emma dengan trauma masa lalu (yang ia anggap telah usai tapi jelas belum sama sekali), kemudian Ibunya yang tiba-tiba hadir setelah sebelumnya selalu absen dari kehidupannya. Serta Justin yang tiba-tiba harus bertanggung jawab atas tiga adiknya, karena Ibunya harus pergi.
Keluarga dan Luka Masa Lalu
Jujur baca buku ini gak berasa baca romance sepenuhnya karena justru part yang bikin saya nangis bombay malah part waktu Ibunya Justin harus pergi (tidak mau bilang kemana biar gak spoiler), tapi saya sesenggukan cukup lama di bagian ini. Lalu, saya juga ikutan marah waktu Emma tahu kebenaran tentang keluarganya, dan serta sayang banget sama Maddy karena terus ada buat Emma karena tahu Emma butuh Maddy, sahabatnya. Bagian berantemnya Emma dan Maddy juga menyenangkan buat dibaca karena realistis banget rasanya kaya baca cerita waktu lagi berantem sama sahabat sendiri.
Saya juga dibuat ikutan sayang sama adik-adiknya Justin, Alex yang punya ADHD, Sarah si remaja tanggung yang bisa dengan mudah dekat dengan Emma karena Emma tahu gimana rasanya berada di posisi Sarah, juga Chelsea, si bungsu empat tahun yang harus tiba-tiba kehilangan ibunya. Suka sekali sama refleksinya Justin tentang kasih sayang: “The best kind of love doesn’t happen on moonlit walks and romantic vacations. It happens in between the folds of everyday life. It’s not grand gestures that show how you feel, it’s all the little secret things you do to make her life better that you never tell her about”.
Sebagai pembaca dewasa, saya merasa porsi cerita dewasanya juga cukup, tidak berlebihan, dan penyelesaian masalahnya juga coba dilakukan dengan pas. Tidak memaksakan kalau sayang artinya harus barengan terus satu sama lain, serta gimana masing-masing orang, terutama Emma dan Justin menyelesaikan luka masa lalunya, membuat saya gak mau menyimpan buku ini sampai selesai. Suka deh baca buku romance yang konfliknya bukan miss-komunikasi berulang-ulang sepanjang buku.
Secara keseluruhan, buku ini bagus sekali! kalau kamu mencari romance yang adegannya tidak menye-menye dan ingin melihat bagaimana pemeran utamanya menyelesaikan masalah-masalah mereka dengan dewasa! saya sangat merekomendasikan buku ini!
The Cat Who Saved Books (Hon O Mamoro to Suru Neko No Hanashi)
Judul Bahasa Indonesia: Kucing Penyelamat Buku karya
Penulis: Sosuke Natsukawa
Penerjemah: Lulu Wijaya
Editor: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbitan: Pertama, 2023
Jumlah halaman: 200 halaman; 20cm
ISBN: 978-602-06-7165-9
---
Disclaimer: Tulisan bersifat subjektif dari sudut pandang saya sebagai pembaca, pengalaman baca kamu dengan pengalaman baca saya bisa jadi berbeda. Reviu hanya diterbitkan untuk blog pribadi saya, boleh disebarkan dengan menyertai tautan namun tidak untuk diduplikasi dimanapun tanpa izin.
---
Saya menyelesaikan tantangan #JanuaryinJapan yang diramaikan di Instagram agar pembaca bisa membaca literasi Jepang di bulan Januari ini. Tertarik ikut karena ada beberapa tumpukan buku yang belum dibaca yang masuk kategori ini. Salah satunya buku The Cat Who Saved Books karya Sosuke Natsukawa. Saya membaca buku ini tanpa ekspektasi apapun dan tanpa membaca reviu dari siapapun sebelumnya, termasuk tidak mengintip apa kata orang di Goodreads. Bukunya tidak terlalu tebal, 200 halaman dan cukup ringan untuk dibaca, ini kategori yang bisa dibaca sekali duduk kalau kamu bisa menikmati membaca bukunya. Sayangnya tidak bagi saya.
Rating akhir saya untuk buku ini adalah 2,5 dari 5 bintang. Bukan buku yang ingin saya baca lagi atau saya rekomendasikan untuk dibaca juga oleh orang lain untuk buku dengan topik buku. Kenapa? Mari kita bahas detailnya.
Blurb
Buku ini diawali dengan kisah Rintaro Natsuki, seorang anak SMA yang baru saja ditinggal wafat kakeknya. Sebagai yatim piatu, ia hanya tinggal berdua dengan kakeknya, yang setelah wafat mewarisi sebuah toko buku bekas yang selama ini menjadi tempat kakeknya mencari nafkah. Baru selang sehari setelah sang kakek wafat, nasib Rintaro seperti sudah diketok palu, ia akan tinggal dengan bibinya dari kota. Toko buku ini akan ditutup, tapi saat ia datang ke toko buku, ia bertemu Tiger, seekor kucing yang bisa bicara dan mengajaknya untuk menyelamatkan buku-buku yang kesepian.
Petualangan mereka pun dimulai, Rintaro diajak tiger masuk ke sebuah labirin di belakang rak buku di toko buku Natsuki dan mencoba 'menyelamatkan' buku-buku yang mati, atau dicabik-cabik pemiliknya.
Empat Labirin Petualangan
Buku ini dibagi menjadi empat chapter, atau yang disebut juga empat labirin di mana di tiap labirin, Rintaro dan Tiger punya misi untuk menyelamatkan buku-buku. Misi ini beragam, di labirin pertama, Rintaro dan Tiger punya misi untuk 'menyelamatkan' buku-buku yang dipenjarakan. Buku yang dipenjarakan ini ternyata metafora dari buku-buku yang sangat banyak--50ribu lebih jumlahnya, di rumah seorang pembaca buku. Buku-buku ini ia simpan di lemari kaca dan ditutup rapat-rapat. Pegangannya digembok menjadi satu. Ia bertemu orang yang sangat mencintai buku dan suka membaca tapi memperlakukan buku selayaknya barang museum, ia bahkan tak pernah menyentuh kembali buku yang ia baca.
Di labirin lainnya, Rintaro bertemu dengan masalah-masalah lain seperti 'pencincang buku', peneliti yang ingin mencincang buku sesingkat mungkin agar bisa ditelan dengan cepat oleh pembaca, atau labirin 'Penjual Buku' dimana ia bertemu pemilik perusahaan yang menolak buku-buku yang tidak laku dan hanya ingin menjual buku-buku laris saja.
Setiap labirin ini adalah metafor pengalaman pembaca, kalau kamu pembaca, pencinta buku atau orang yang suka buku, kamu mungkin familiar dengan 'masalah-masalah' perbukuan yang dibahas di buku ini. Apa yang akhirnya membuat saya tidak terlalu menikmati membaca buku ini adalah: apakah semua yang menjadi pembahasan di labirin buku ini adalah masalah sebenarnya dunia perbukuan?
Hitam putih.. tak ada diantaranya
Belakangan saya sering sekali mengikuti diskursus literasi atau perbukuan di Twitter atau X. Dibilang mengikuti sebetulnya saya hanya baca dan mengamati saja, jarang sekali saya ikut-ikut berkomentar. Saya rasa, apa yang jadi 'masalah-masalah' di labirin Rintaro dan Tiger ini akan ramai sekali jika diperbincangkan di platform tersebut.
Sebut saja labirin ketiga dimana seorang pebisnis menolak menerbitkan buku-buku yang tidak diminati pembaca, susah dipahami, dan dalam tanda kutip kurang laku. Saya mencoba memahami jawaban Rintaro untuk 'membebaskan buku' di labirin ketiga ini dan merasa Rintaro hidup hanya di bubblenya yang sangat ideal (yang juga menjadi kritik di labirin ke empat).
Ketika membaca labirin ketiga, saya tergelitik sekali. Apakah bagi Rintaro hanya buku-buku 'sastra' berat yang berhak dicetak banyak-banyak? buku self-help (yang sejujurnya juga gak cocok-cocok banget sama saya) selalu laku ya karena berhasil menemukan pembacanya. Buku romantis bentuknya juga tak melulu buku sastra berat kan ya? (kalau yang ini saya beneran kesenggol sebagai penikmat buku romance LOL). Tapi intinya, keseimbangan perlu kan ya? penerbit buku ya perlu cari untung, supaya buku-buku bagus dan buku populer bisa sama-sama terbit, supaya penulis penulis baru bisa terus hadir, supaya orang tetap membaca dan menemukan kesenangannya dalam membaca.
Sejujurnya ketika menemukan ketidaknyamanan dalam idealisme Rintaro, saya mencoba memposisikan diri sebagai Rintaro. Apakah karena Rintaro masih SMA ya? jadi berpikirnya hitam putih begitu, tapi juga gambaran hitam putih ini tidak cocok rasanya dengan sosok Rintaro yang coba digambarkan sebagai wise grandson yang dapat wisdom dari percakapan-percakapan bersama Kakeknya. Jadi kaya gak cocok aja rasanya penggambarannya buat saya.
Bisa tetap dinikmati kah?
Saya mencoba tetap menyelesaikan baca buku sampai selesai untuk melihat apakah ada bagian dari buku ini yang bisa saya nikmati, tapi sepertinya agak sulit. Setelah selesai membaca buku ini saya sempat membaca beberapa reviu teman-teman pembaca lainnya dan melihat bagaimana point of view mereka tentang buku ini. Ternyata tetap banyak pembaca yang suka sekali buku ini, ratingnya di goodreads juga bagus dari 60.000 lebih pembaca. Jadi saran saya kalau kamu suka buku (nilai plus kalau suka kucing, walaupun saya bingung kenapa disebut kucing penyelamat buku), coba saja baca buku ini. Siapa tahu cocok buat kamu! kebetulan saja tidak cocok untuk saya.
Tapi buku selalu menemukan pembacanya bukan? :) So maybe you should give this book a try.
Tahun ini saya kembali ikutan #ReadChristie setelah absen beberapa lama. Alasannya sederhana, banyak buku Agatha Christie yang sempat saya beli beberapa waktu kebelakang, tapi belum sempat dibaca. Jangankan dibaca, segelnya saja belum dibuka. Jadi gas lah, mumpung tahun ini ada banyak waktu luang untuk membaca. Bulan ini temanya adalah Artist. Sebetulnya buku yang direkomendasikan adalah Five Little Pigs. Tapi saya belum punya di rumah. Opsi lainnya bisa buku Third Girl yang saya baca ini atau buku The Hollow. Third Girl dan The Hollow saya punya di rumah, jadi langsung pilih satu dan akhirnya membaca Third Girl.
Jujur membaca Third Girl seru sekali! Buku Oma tuh kan khas banget ya buat saya, beliau ngebuild dulu cerita di awal yang bikin beberapa buku emang agak bikin ngantuk dan bisa dibilang bikin bosan sampai akhirnya ketemu hook yang bikin kita gak mau simpan buku sampai akhir. Nah si Third Girl ini malah menempatkan hooknya di awal gitu.
Blurb
Ceritanya seorang gadis datang ke rumah Poirot untuk mengakui kalau dia telah membunuh seseorang, tapi dia sendiri kelihatan ragu. Gak lama berselang, sang gadis ini ngilang. Karena Poirot gak tahu nama dan asal usul si gadis, dia kelihatan udah mau bodo amat, tapi juga kepikiran, sampai bertemulah dia dengan sahabatnya, Mrs. Oliver, penulis novel misteri yang cerita kalau baru-baru ini dia nyuruh orang ketemu Poirot dan dari deskripsinya, mirip dengan yang disampaikan Poirot.
Setelah tahu nama dan alamatnya, Poirot mendatangi rumah sang gadis di pedesaan, rumah keluarga, bukan rumah sehari-hari yang ditempati, karena si Gadis, yang belakangan ketahuan namanya adalah Norma Restarick, tinggalnya di London.
Setelah datang ke rumah keluarganya, ketemu beberapa orang yang kenal dia, semua orang seolah menganggap Norma ini agak gak waras, gila, sinting, gak normal, pokoknya gak ada bagus-bagusnya deh yang orang sampaikan tentang Norma. Norma punya kehidupan sulit dengan Ibunya (bukan secara finansial, karena Bapaknya kaya), sejak kecil Norma ditinggal ayahnya yang kabur buat bertualang ke Negara-negara eksotis sama perempuan muda yang dicintai sang Ayah. Ibunya kesel dan benci banget sama di perempuan selingkuhan ini dan sepanjang masa kecilnya, Norma dibikin gak nyaman dengan keadaan ini.
Sang Ayah akhirnya kembali ke London setelah 'petualangan'nya selesai. Dia balik dan punya istri baru, Mary Restarick yang ditemuinya di Afrika Selatan. Norma hidup gak akur dengan Mary, ini juga yang akhirnya membuat Norma pindah ke London.
Artist
Tema Januari ini memang Artist dan kamu akan menemukan benang merah tema dengan buku ini di pertengahan sampai akhir cerita dimana orang-orang terdekat Norma mulai kelihatan kesehariannya mengerjakan apa. Jadi saya gak bisa cerita lebih lanjut karena nanti malah spoiler.
Saya sendiri cenderung gak menebak-nebak di awal siapa yang menjadi pelaku pembunuhan (yap, beneran ada pembunuhan di sini), dan mencoba menikmati baca bukunya aja, jadi ga bisa bilang juga apakah tebakan saya akan pelaku benar atau salah. Tapi cukup mindblowing dan agak gak ketebak. Jadi secara keseluruhan menurut saya bukunya seru!
Rating
Saya kasih 4 dari 5 bintang untuk buku ini karena saya menikmati baca bukunya, misteri di dalamnya yang lumayan bikin Poirot pusing. Hints di buku ini juga asyik banget sebenernya, dibanding buku lain, menurut saya ada banyak petunjuk yang bertebaran yang membuat pembaca bisa barengan menganalisis beragam kemungkinan.
Saya juga lumayan suka sama karakter Mrs. Oliver yang sumpah agak nyebelin hahaa! tapi saya suka karena membantu penyelidikannya Poirot, terlepas dari agak ngeyelnya beliau ya. Sudah dikasih tahu untuk hati-hati tapi gak juga, jadi ajah kenapa-napa. Tapi kemunculan Mrs. Oliver di sini memang memegang peranan penting. Terakhir saya ketemu beliau di buku hallowe'en party kalau gak salah.
Kesimpulannya buku ini lumayan OK buat dibaca bahkan oleh kamu yang belum membaca karya Agatha Christie yang lain pun! Gak membosankan, karakternya banyak tapi juga semuanya pegang peranan penting, jadi kita ingat walaupun gak sampai detail namanya hehe. Kalau kamu mau ikutan #ReadChristie2025 di Januari ini, boleh banget nih baca buku ini!
Halo! dengan Asri mode review di sini. Ceritanya akhir pekan lalu saya mampir untuk pertama kalinya ke Artemedia Shop di Jalan Soekarno Hatta Bandung. Saya sudah sering sekali ke Artemedia tapi ke tokonya yang di Balubur Town Square untuk belanja Art Supply. Ini pertama kali ke Soetta dan baru tahu kalau ada tokonya di sini karena gak sengaja search maps di google, eh yang muncul yang di Soetta. Karena lebih dekat dari rumah, saya senang senang aja sih mencoba ke sana. Daaaaan, please kalau kalian suka belanja Art Supply dan kalian tinggal di Bandung dan sekitarnya, kalian harus coba ke sini! Karena tokonya super duper besar, lega dan lengkap banget (please note tetap gak semua brand ada ya, karena sepertinya beberapa brand emang gak masuk ke Artemedia).
Sebetulnya saya datang untuk beli kertas gambar buat oil pastel dan paper stump saja, tapi seperti kebiasaan kalau masuk toko Art Supply yaaa, ga mungkin beli yang direncanakan ajaa, apalagi kalau ada diskon besar. Nah kali ini kembali terjadi nih. Harusnya Saya ga beli cat air karena kemarin cek banyak banget cat air dan watercolor pencils di rumah. Tapi Mba petugasnya kasih tahu ada diskon best deals banget dari Winsor & Newton watercolor gift set seri professional.
Karena belum punya seri professional, saya penasaran banget. Jadi muter-muter di toko agak lama sambil menimbang beli gak ya beli gak yaaa. Dan berujung beli! hehe karena beneran best deals banget sih.
Set Journal Gift Collection ini harganya 2.000.000 yang isinya:
1. Set 12 half pan Winsor & Newton Professional dan tin boxnya,
2. 1 brush series 7 nomor 3, dan
3. Winsor & Newton watercolor Paper professional
Bonus lainnya ada kertas watercolor buat nyobain swatch color.
Nah, dari 2juta, diskonnya 60% jadi saya hanya perlu bayar 800.000 ajaaaa! FYI harga Brush series 7-nya Winsor & Newton yang Nomor 3 itu udah 700.000 sendiri! (I don't think I will need this brush tbh! it's so expensive, tapi jadi penasaran juga buat nyoba brush 700ribuan (cry)). Jadi kalau bahasa marketing Mba petugasnya: Anggap aja beli brushnya, tapi bonusnya watercolor professional series dan sketchbook winsor professional (LOL). Nah, sebelumnya saya memang sudah punya set Winsor & Newton, tapi yang Cotman 12 half pan. Kayanya saya beli sekitar 2018, berarti sudah 7 tahun lalu dan masih ada aja di rumah, belinya juga di Artemedia. Series professional ini memang ada di wishlist saya, jadi yaa sekalian deh. Itungannya juga tetap jauh lebih murah buat beli set ini bahkan kalau gak ada brush super mahal dan watercolor papernya. Karena satu half pan Winsor & Newton Professional series 1 saja harganya sudah 132.000/warna. Dikali 12 sudah 1,5juta. Jadi memang best deal!
Nah, saya baru banget bongkar dan belum sempat pakai buat melukis apapun! semoga hari ini bisa amiiiin. Nanti kalau sudah coba buat melukis, gak hanya swatch-swatch aja, saya update juga ya disini! Oiya, kalau kamu tertarik juga buat punya seri ini, di Tokopedia dan Shopee mereka juga ada diskon walaupun gak sebesar di toko langsung. Dari 2juta jadi 1,2juta aja (tetap worth it mengingat isinya aja 2jt++). Catatan: selama persediaan masih ada, waktu saya beli di toko kemarin, stoknya sisa dua aja.
Sekian review Art Supply kali ini. Sampai temu di review selanjutnya yaaa!
Halo! hari ini mau cerita pengamalan mencoba Mungyo Artist soft oil pastel yang sata punya di rumah.
Sebetulnya, ini bukan kali pertama saya bersentuhan dengan oil pastel. Sejak SMP (seingatku), saya sudah dapat mata pelajaran Seni Rupa dan salah satu alat warna yang harus dimiliki dan digunakan untuk mengerjakan tugas. Oil pastel pertama saya adalah Pentel, merek sejuta umat yang lumayan affordable tapi juga kualitasnya bagus.
Nah, tapi sejak dulu saya memang punya kendala pakai Oil Pastel hehe, terlepas dari masalah bakat (wkkkk, memang dasarnya tidak berbakat), tapi oil pastel ini kalau dipakai melelahkan sekali. Untuk mewarnai bidang sebesar A4 saja tangan saya sudah lelah sekali, terus kotor semua pula. Baru sekarang-sekarang setelah dewasa saya paham malah seninya ya di kotor-kotorannya ini, ngeblend pakai jari malah jadi pilihan utama buat beberapa artist.
Tahun lalu, saya melihat video seorang ilustrator menggunakan oil pastel sebagai salah satu art supply untuk mix media sketchbook yang ia buat tiap hari. Dan saya naksirrr sekali sama oil pastelnya. Brandnya Mungyo, ketika cek di Indonesia sudah masuk dan ada official shopnya sendiri, saya langsung check out set card yang isi 48 dan sekalian coba beli watercolor crayons yang isi 12. Tapi sepanjang tahun jugaaa tidak digunakan karena memang gak ada waktunya hehe.
Karena tahun ini ada banyak waktu untuk explore alat lukis dan alat gambar yang sudah dibeli, jadi ini waktu yang tepat untuk mencoba Mungyo Gallery Oil Pastel ini. Set 48 harganya saya beli 429.000 (sekarang sepertinya lebih murah gak sampai 350ribuan) dan set watercolor isi 12 di harga 123.000 rupiah. Agak pricey ya sebetulnya, tapi ketika lihat reviewnya memang kualitasnya baik. Belum selevel professional seperti Sennelier yang satu oil pastel-nya harganya sampai hampir 50.000, tapi juga diatas standar oil pastel lainnya yang banyak masuk ke Indonesia sekarang.
Kalau kamu mau mencoba-coba oil pastel, beberapa waktu terakhir saya sempat lihat review pengguna yang lebih sering pakai oil pastel dan ada beberapa brand alternatif jika ingin mulai belajar, yang dari kualitasnya cukup ok untuk beginner dan tetap mantap buat diblend yang jadi khasnya di oil pastel.
Beberapa referensi untuk begineer:
1. Joyko Artist's Oil Pastel (mulai dari isi 12 s.d 48), harganya dari 20.000an sampai 90.000an untuk isi yang 48. Super affordable.
2. Faber Castell Oil Pastel Black Edition Series, set 12nya mulai dari 35.000an dan ada set 48 dengan harga 130ribuan.
3. Grebel Artist's Oil Pastel, Set 12 warnanya di harga 180ribuan, set 24 di 330ribuan, set 36 di harga 430ribuan, set 48 di harga 600ribuan dan set paling banyak 72 warna di harga 900ribuan.
Sisanya ada juga brand lain seperti MontMarte, Mungyo seperti yang saya coba dan tentu saja yang professional level seperti Sennelier dan Caran d'Ache. Tapi harganya juga professional ya hehe, jadi buat yang beginner seperti saya better coba-coba menggunakan brand-brand student grade level, atau artist level yang lebih affordable.
Ini gambar pertamaku tahun ini yang kubuat menggunakan Oil Pastel:
Sampai juga di hari ke-7 challenge gambar-gambar tiap hari! Hari ke-7 ini saya menggambar bunga yang referensinya diambil dari buku Wild Flowers by Colour karya Marjorie Blamey. Salah satu botanical illustrator favorit saya yang skill-nya aduuuh hehe luar biasa. Saking sukanya, saya pelan pelan mencoba mengoleksi buku Blamey. Sekarang ada tiga buku Blamey di rumah, selain buku yang saya sebut diatas, ada Painting Flowers dan A Handbook Guide to the World Flowers of Britain and Northeren Europe. Mengoleksinya pelan-pelan tentu saja karena harganya mantappp menguras kantong sekali. Buku-buku ini sudah tidak lagi terbit, sehingga tiap ada penjual yang menawarkan prelovednya, harus war dengan kolektor lainnya.
Gambar-gambar lain untuk challenge gambar harian saya unggah di Instagram! Kamu bisa ikuti di https://www.instagram.com/wanderbook_/ semoga terus konsisten sampai 343 hari berikutnya ya. Amiin
Selamat tahun baru semuanya! Menyambut tahun yang baru dan kesibukan yang baru sebagai stay at home mom, tahun ini saya menambahkan salah satu habit yang ingin saya bangun di 2025: menggambar lagi. Rutin, tiap hari dan progressnya akan saya share di media sosial. Harapannya supaya lebih konsisten karena harusnya jadi reminder yaaaa supaya update gambar kalau kelewat.
Supaya makin gereget, gambarnya juga akan saya share di blog!
Semoga kita semua diberikan kesehatan dan banyak-banyak hal baik di 2025 ya!
1/365: Kue Apa? Kue Apa?
watercolor on paper
Paper: Baohong 230gsm A6
Brush: vtech 230R Artist Brush No. 12
Watercolor: Pebeo studio watercolor