Setelah membaca Kisah Dari Kebun Terakhir di Januari lalu, saya membaca buku lain yang juga ditulis oleh antropolog, sebuah buku yang sudah bikin saya penasaran sejak lama sekali. Judulnya: Tempat Terindah di Dunia. Buku ini ditulis oleh seorang antropolog Belanda, Roanne Van Voorst yang pernah selama setahun tinggal di wilayah kumuh Jakarta, dalam buku ini nama lokasi disamarkan untuk kebaikan banyak pihak, Roanne menyebut nama wilayah penelitiannya sebagai Bantaran Kali.
Tidak dijelaskan secara persis kapan Roanne datang pertama kali ke Jakarta, dari cerita dalam buku ini, dimana Roanne masih panas-panasan naik mikrolet dan transportasi di Jakarta masih sangat semrawut, saya menduga riset ini dilakukan sebelum 2010.
Apa saja isi buku ini?
Buku ini berisi beberapa bab yang tak melulu membahas banjir. Berikut catatan saya tentang masing-masing bab di buku ini.
Bab 1: Tidur Bersama Portofon
Ini spesifik tentang banjir dan bagaimana status sosial warga di Bantaran Kali ditentukan dengan kepemilikan portofon. Semacam walkie talkie yang bisa menangkap sinyal jarak jauh dari pemantau status ketinggian sungai. Portofon bisa memberi sinyal kapan banjir akan terjadi juga sebesar apa, membuat warga bisa bersiap-siap sebelum banjir.
Menarik bagaimana dijelaskan kalau awalnya portofon diberikan oleh pemerintah untuk membantu warga di Bantaran Kali, namun kemudian setelah rusak dan tetap gagal mengantisipasi banjir, pemerintah tak lagi memberikan Portofon dengan alasan: 'hadirnya' pemerintah di Bantaran kali bisa membuat mereka merasa apa yang mereka lakukan (tinggal di Bantaran Kali) adalah hal yang benar.
Bab 2: Ketika Ada Kabel Listrik Putus
Bercerita tentang dampat mengenaskan dari kebakaran yang terjadi di kampung padat penduduk. Saya merinding membayangkan kebakaran yang terjadi di Jakarta, dimanapun itu, kebakaran di Jakarta sangat mengerikan rasanya karena daerah yang ber-gang-gang dan susah dimasuki mobil pemadam kebakaran. Di buku ini kurang lebih diceritakan kejadian serupa, pada akhirnya warga yang saling gotong royong menyelematkan diri sendiri dan tetangga, serta memastikan api tidak menyebar semakin besar.
Bab 3: Menunggu atau Membayar
Ini bab yang sangat unik buat saya: tentang budaya korupsi orang-orang Indonesia yang mendarah daging sampai level grassroot. Roanne menceritakan kisahnya yang 'dipersulit' mendapatkan izin penelitian di Indonesia karena ia tak mau memberikan 'amplop' kepada petugas di kantor imigrasi.
Kejadian ini juga terjadi lagi ketika akhirnya seorang petugas dari kantor pos datang hendak mengantarkan surat, namun tak kunjung diberikan hingga akhirnya Roanne memberikan 'uang jasa terima kasih' kepada petugas tersebut.
Bab 4: Jangan Pernah Percaya Dokter
Di Bab ini kita akan diajak membaca persepsi warga di kampung kumuh dan resistensi mereka ke hal-hal yang berbau 'medis' atau 'rumah sakit'. Kalau membaca kisah di bab ini, wajar sekali sebenarnya warga di Bantaran Kali lebih memilih cara-cara yang ada selain cara medis atau harus ke rumah sakit. Hampir semua orang yang diceritakan Roanne disini memiliki pengalaman tidak mengenakkan dengan rumah sakit karena satu sebab: mereka miskin.
Orang miskin memang sering kesulitan berobat, saya menduga ini masa sebelum era BPJS dan Kartu Indonesia Sehat mulai ramai dan hampir dimiliki seluruh warga Indonesia, namun bahkan setelah semua orang punya akses berobat yang sama dengan kartu BPJS atau KIS pun, masih banyak diantara masyarakat, tetangga saya contohnya, yang lebih memilih cara-cara tradisional untuk berobat dibanding ke rumah sakit. Tetap ada ketakutan membayar diluar harga yang mereka miliki, jika tidak benar-benar ada pilihan lain untuk sembuh, baru mereka pergi ke rumah sakit.
Bagi warga Bantaran Kali (jikapun sekarang masih ada), mungkin mendapatkan BPJS bukanlah sesuatu yang mudah seperti saya atau masyarakat lain yang lebih beruntung. Seperti yang kita tahu urusan pemerintahan selalu membutuhkan KTP dan KK disetiap persyaratan administrasinya, dan hal ini sepertinya tidak dimiliki semua warga Bantaran Kali.
Bab 5: Mangga, Cabe Merah dan Pembangkit Gairah Lainnya
Ini bab yang juga sangat seru haha! Kita akan melihat percakapan yang lebih 'vulnerable' tentang sex, relasi perempuan dan laki-laki dan mitos-mitos tentang sex di kalangan warga Bantaran Kali. Di bab ini, saya merasa lebih relevan dengan Roanne yang banyak gak tahu apa-apa dan tidak yakin bisa mempercayai 100% mitos-mitos yang bertebaran disini.
Bab 6: Menabung untuk Beli TV
Bayangkan warga yang tinggal secara ilegal di pinggiran kali, kemungkinan sediki yang memiliki KK dengan alamat yang sesuai, juga KTP yang bisa dipercaya dan dijadikan pegangan ketika ingin mengajukan pinjaman di Bank; haha jangankan memikirkan pinjaman, datang ke bank untuk menabung pun sepertinya warga Bantaran Kali tak biasa. Namun bukan berarti mereka tak menabung; atau tak bisa meminjam. Bagi warga Bantaran Kali, 'Pinter' adalah sosok bank di Bantaran Kali. Ia pemutar roda keuangan layaknya Bank.
Warga bisa menabung untuk tujuan tertentu, dan tidak bisa mengambil sembarangan tabungan tersebut (semacam deposito ya haha), lalu warga juga bisa meminjam uang; tentu dengan bunga yang tinggi dan tidak ada jaminan suku bunga sesuai regulasi yang berlaku. Beberapa akan menyebutnya sebagai rentenir, namun bagi warga Bantaran Kali, sosok Pinter amat penting untuk perputaran roda keuangan.
Bab 7: Selalu Bersama Dimana-Mana
Bab ini menceritakan struggle-nya Roanne ketika tinggal bersama warga Bantaran Kali; yang 1. Seperti halnya kebanyakan orang Asia, hidupnya sangat komunal dan menganggap 'kesendirian' sebagai sesuatu yang menakutkan. 2. Tak banyak sekat dan tempat untuk hidup sebagai seorang individu disini, belok dikit ada orang, di rumah pun ada orang lain yang tak paham pentingnya privacy.
Roanne yang selalu mudah lelah secara emosional ketika bertemu banyak orang, harus beradaptasi dengan kondisi warga Bantaran kali yang selalu merasa Roanne harus ditemani, bahkan ketika ia tidak meminta. Kalimat "kasian, sendirian" jadi sering berulang ia dengar.
Review Asri
Sayaaa suka sekali membaca buku ini, walaupun isinya menjelaskan hal yang sama sekali berbeda dengan perasaan saya setelah membaca buku ini. Saya amat kagum dengan Roanne yang bisa tinggal setahun lamanya di Bantaran Kali, juga cara ia menuliskan kisah warga Bantaran Kali di Buku ini.
Buku ini amat saya rekomendasikan untuk dibaca oleh orang-orang yang sering menganggap warga seperti Tikus dan teman-temannya sebagai benalu dalam perspektif pembangungan. Buku ini juga sangat membuka mata saya tentang kemiskinan struktural. Saya selalu ingat
riset yang dilakukan SMERU tentang mengapa anak dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa. Walaupun ada, tentu tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Saya benar-benar menangis membaca epilog buku ini. Pada tahun 2015, kampung di Bantaran Kali benar-benar digusur, banyak dari mereka tak jelas akan tinggal dimana. Menuliskan review buku ini di bulan Maret 2023 membuat saya jadi berpikir, dibanding menyalahkan masyarakat ataupun pemerintah, kenapa tidak mencoba melihat lebih mendasar apa yang sebetulnya menjadikan masyarakat membangun hunian di daerah terlarang (atau di Tanah Merah, istilah yang sedang hangat usai terjadi kebakaran di DEPO Pertamina Plumpang pada 3/3/2023 Malam).
Diskusi yang bergulir di twitter membuka 'mata' banyak pihak bahwa warga sebetulnya tak boleh tinggal di Tanah Merah tersebut, sama halnya dengan yang terjadi dengan apa yang dilakukan warga Bantaran Kali. Namun apa yang membuat mereka masih bisa tetap memiliki hunian disana hingga 2023? Bahkan ketika tahun 2009 pernah terjadi kebakaran di lokasi yang sama?
Atau jika ditarik mundur lagi, apa yang membuat orang-orang berebut memiliki hunian di Jakarta? Mengapa orang-orang datang ke Jakarta meski memiliki resiko tak memiliki hunian yang layak?
Saya tahu banyak peneliti dan pakar yang lebih ahli yang memiliki jawaban ilmiah dari fenomena tersebut, namun bagi saya yang hanya bisa melihat fenomena dari apa yang saya lihat dan saya alami, hal ini, --orang berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, mencoba mencari harapan perbaikan kehidupan, atau sekedar bertahan hidup, akan selalu terjadi selama wilayah Indonesia lainnya tak menawarkan pekerjaan bagi masyarakatnya.
Sejak lulus kuliah, saya bekerja dua kali untuk dua yayasan (saya bekerja sebagai guru), dan dua-duanya saya dibayar underpaid. Dibawah UMR Kota Cimahi, tempat kedua yayasan tersebut berada. Penghasilan saya akhirnya bisa mengikuti UMR atau melebihi UMR setelah bekerja di Jakarta atau bekerja untuk perusahaan atau yayasan berbasis Jakarta.
Sedih memang, tidak banyak pilihan untuk bisa memiliki penghasilan layak ketika bekerja di luar jakarta. Ini baru membicarakan saya, seorang pekerja kerah putih yang alhamdulillah bisa bekerja dari balik laptop, bagaimana dengan kesempatan untuk pekerja informal seperti warga Bantaran Kali? :')
Membaca buku etnografi memang selalu memberikan dua dampak bagi saya: satu sisi bisa mengasah empati dan belajar melihat sudut pandang baru. Di sisi lainnya, saya sering merasa powerless, useless atau apalah itu. Karena tidak bisa melakukan apa-apa setelah tamat membaca buku. Kecuali membagikan pengalaman saya membaca buku ini di Internet.