Journal Asri

Di Kampung Merdeka, tak ada satu orang pun yang suka mengajukan diri menjadi Ketua RT. Menjadi ketua kampung tak semudah dan seindah yang dibayangkan. Amanah yang diemban pun tidak ringan. Ketua kampung harus rela berkorban waktu, uang, dan tenaga. Dan itu b-e-r-a-t. Tidak semua orang sanggut. Kecuali orang yang haus jabatan, sejujurnya tak ada yang mau dipilih.

Apa hebatnya jadi ketua RT? itu bukan jabatan yang bergengsi. herannya, Bu As menginginkannya dan menikamtinya. Menjadi Ketua PKK adalah jabatan strategis, ajang untuk tampil. Bu As menikmati peran menjadi ibu nomor satu di kampung.

Lauk Daun - Hartari, halaman 23

Sudah lama saya tidak tertawa lepas dan gemas-gemas sebal ketika membaca sebuah buku. Beberapa waktu belakangan memang bacaan saya sedang dipenuhi karya-karya yang cenderung ‘berat’, entah isinya memang berat seperti Metode Jakarta, atau berat betul bukunya seperti karya Junghuhn yang juga sangat tebal dan isinya lebih ke bikin senyum dan takjub ketimbang ketawa. Selingannya, buku-buku Agatha Christie yang saya baca tiap bulan untuk ikut Tantangan Bacanya juga jauh dari kata lucu. Jadi ketika bertemu buku Lauk Daun (thanks to @awaywithbooks) saya senang sekali karena akhirnya bisa tertawa ditengah bacaan yang serius.

Saya agak menebak-nebak dari kaver bukunya, saya kira ini tentang makanan pendamping nasi berupa dedaunan; atau yang biasa kita sebut sayur. Tapi nyatanya jauh betul dari prediksi saya, dan justru judul buku ini lah yang bikin saya tertawa tak henti-henti.

Membaca Lauk Daun (1)

Lauk Daun bercerita tentang dinamika hidup di kampung Merdeka, sebuah kampung di tengah kota yang sangat mirip dengan kampung-kampung pada umumnya. Penghuninya beragam, status sosial ekonominya beragam, pekerjaannya pun beragam. Penulis membuka buku ini dengan kerusuhan di grup WhatsApp (WA)! (beneran mirip komplek atau RT kamu gak tuh ada grup WAnya!). Warga di grup WA ini sedang berunding tentang pandemi yang datang dan apakah perlu kampung mereka melakukan Lockdown.

Diskusi di grup ini tentu saja seru betul, ada yang setuju, ada yang tidak, ada yang vokal berbicara (baca: mengirim dan membalas pesan), ada juga yang menjadi silent reader saja. Ya rupanya ini memang sehari-hari terjadi di Kampung Merdeka. Bukan hanya ketika pandemi saja.

Diskusi tersebut menjadi pengantar menuju cerita selanjutnya: asal usul kampung merdeka, dari penamaannya sampai sejarah kepala kampungnya. Fokus cerita Lauk Daun memang berpusat pada kepala kampungnya. Mulai dari masa Pak Aripin, Pak Amar hingga Pak Asikin dan istrinya Bu Asikin (yang lebih dikenal dengan sebutan Bu As) yang menjadi pemimpin Kampung Merdeka. Meskipun Pak Asikin, seperti bapak-bapak pada umumnya, tidak terlalu heboh dan ingin biasa saja dalam memimpin Kampung Merdeka, tapi Bu As ternyata punya misi lain: Ia ingin menjadi Ibu kepala kampung dan kepemimpinannya membekas dan berprestasi, sehingga dimulailah dramanya disini. Kenapa drama? karena Bu As sebetulnya bukan sosok yang dekat dengan masyarakat, ia bahkan tidak mengenal semua orang di Kampung Merdeka meskipun sudah tinggal di sana.

Dinamika Warga Kampung Kota

Ketika membaca buku ini, saya jadi ingat kampung Ibu saya. Yap, Ibu saya, bukan saya. Kebetulan saya belum memiliki rumah tetap alias masih mengontrak dan mencari rumah yang pas dari waktu ke waktu, alhasil tak banyak bisa bersosialisasi dengan warga setempat, tapi Ibu saya, yang rumahnya tetap di satu kampung, dan saya yang juga menyicip hidup sebagai warga kampung yang sama selama beberapa waktu yang sama, paham betul dinamika yang terjadi di Lauk Daun ya memang ada di kehidupan warga.

Bedanya, saya tidak pernah menemukan kombinasi Ibu-ibu menyebalkan yang kemudian diberikan kesempatan untuk mengecap kekuasaan. Alias biasanya yang jadi Pak RT dan Bu RT ya baik-baik saja, yang nyebelin ada tapi karena sudah terkenal menyebalkan ya tidak mungkin dipercaya jadi RT hehe.

Tokoh utama dalam buku ini, Bu As jadi kombinasi menyebalkan ketika misalnya ia ingin warga kampungnya mengikuti lomba kampung hijau dan semuanya harus memiliki pohon cabai, jika tidak akan di denda, tapi disisi lain Bu As adalah pedagang tanaman, warga yang tak sempat menanam mau tak mau harus membeli tanaman kepadanya. Ia juga jadi kombinasi menyebalkan ketika sudah tidak menjabat sebagai Bu RT namun masih mengatur-ngatur Bu RT yang baru, atau ketika ia memaksakan semua warga untuk berolahraga, atau sok tau tentang acara kampung, sok asik pula.

Bu As jadi super duper menyebalkan dan membuat kita gemas ketika membaca tingkahnya. Sementara itu seperti halnya dinamika di kampung, bapak-bapak kecil sekali perannya di sini (di sini: di drama dan pergosipan kampung). Seperti halnya di kampung-kampung kebanyakan: Ibu Ibu lah pemegang kekuasaan sebenarnya. Alias kalau Ibu-ibu gak mau kerja ya sepi juga kampungnya.

Selain kelakuan Bu As, kita juga akan menemukan sosok Yayuk yang tak kalah dominan. Yayuk jadi stereotipe perempuan yang juga sering digosipkan tetangganya seperti Bu As, bedanya Yayuk digosipkan karena kisah asmaranya. Suka gonta ganti pacar, hamil duluan sebelum menikah, hingga batal kawin siri karena calon suaminya dijemput istri sah, tak kurang kurang ia juga tipe warga yang senang ribut dengan tetangga lainnya.

Bu As, Yayuk dan warga lain di buku ini rasanya begitu dekat dengan saya yang selama ini hanya jadi silent reader saja di kampung.

Kenapa tertawa lepas sekaligus gemas?

Mungkin tidak sepenuhnya tepat kalau sepanjang buku, saya hanya tertawa-tawa saja. Lebih tepatnya terhibur ya. Melihat tingkah Ibu-Ibu dan Bapak Bapak Kampung Merdeka rasanya seperti sedang menonton sitkom, walaupun tidak ada punch line di setiap bab. Hanya beberapa bab saja yang memberikan punch line tersebut. Tapi karena temanya begitu dekat, yaa hiburannya makin terasa.

Emosi lain yang muncul justru gemas dengan tingkah Bu As dan Yayuk, tapi tahu tidak kawan? Sering kali kita memang tidak bisa berbuat banyak jika kita berada di posisi warga Kampung Merdeka yang ada dibawah ‘jajahan’ Bu As. Kenapa? karena tidak banyak dari kita yang mau ambil bagian atau repot-repot menjadi Ibu PKK seperti Bu As. Tidak ada juga bapak-bapak yang mau repot-repot jadi ketua RT. Seperti halnya di Kampung Merdeka, kebanyakan jabatan RT RW di tempat kita ya karena tidak ada yang lain yang mau saja hehe, dan ini ya memang relatable dengan warga kampung kota. Karena kalau di desa, jabatan Kepala Desa justru jadi rebutan dan pertarungan yang sering kali berdarah atau bisa memutus tali silaturahmi antar saudara sendiri; karena di desa ada Dana Desa yang jumlahnya tidak sedikit :’) sementara di Kota kan tidak ada.

Jadinya yaa gemas-gemas tapi tidak bisa melakukan hal lain juga, ujung-ujungnya: gosip dan ngomongin di belakang. Persis betul warga Kampung Merdeka.

Membaca Lauk Daun (2)

Saya membaca buku ini tidak sekali duduk, tapi dua kali duduk. Tetap bisa cepat diselesaikan karena bukunya tipis, masuk ke kategori novella ketimbang novel. Bahasanya tidak berat, tidak ada plot twist yang terlalu bikin hah heh hoh dan saya suka betul tema kehidupan sehari-hari yang diambil di sini. Senang sekali ada novella ringan yang mendapat predikat “Naskah yang menarik perhatian juri” pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2021; rasanya bisa juga ya sastra dekat dengan saya, sastra dekat dengan masyarakat biasa. Bisa dikunyah dengan mudah tanpa harus berkerut memikirkan maknanya.

Kalau kamu suka cerita slice of life, mau melihat dinamika kampung dalam bentuk tulisan, kamu bertemu Bu As dan sebal-sebal sendiri dibuatnya, sedang mencari bacaan ringan tapi bermakna untuk keluar dari reading slump, coba baca buku ini deh! seru!



Malamnya, aku mengajak bicara Jay Catsby—Kucing yang sering datang ke kamar kosku—sampai kami berdua tertidur. Kuceritakan padanya tentang Penyair K, tentang si kecu Alif Sudarso, tentang Ibuku, tentang Sekar, tentang kalimat “Dari sekian banyak cara untuk mati, yang terburuk adalah melanjutkan hidup” yang tertera di nisan sesuai permintaan Pat. --Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu - Dea Anugrah

Membaca Bakat Menggonggong (1)

Ketika tahu kalau buku Bakat Menggonggong di cetak ulang, saya tidak heboh bersemangat hendak segera membeli dan membaca buku ini walaupun saya sangat menikmati membaca esai-esai Dea yang sudah saya baca beberapa tahun lalu dan begitu membekas buat saya. Alasannya sederhana: saya tak begitu mahir membaca cerita pendek. Beberapa kali mencoba membaca cerita pendek, saya sering bingung dengan maknanya, atau sering kecewa karena ceritanya begitu pendek (padahal ya namanya juga cerita pendek), tapi lebih sering alasan pertama sebetulnya. Karena itu saya menunda membeli langsung buku ini. Tapi seorang kawan mengirim saya pesan pendek, “coba baca, As! kayanya kamu akan suka”.

Jadilah saya membeli buku ini, berbarengan dengan sepaket buku-buku lain yang saya beli di bulan Juni. Bulan kesurupan karena saya habis menjual beberapa koleksi buku dan uangnya saya pakai lagi untuk membeli buku-buku baru. Lalu membaca cerita pertamanya, saya lanjutkan ke cerita kedua, ketiga, eh kok tidak serumit yang saya biasanya temukan ketika membaca cerita-cerita pendek lainnya. Saya juga merasa cara Dea ‘bercerita’ di buku ini sangat mirip dengan caranya bercerita di dua buku kumpulan esainya yang sudah saya baca.

Diskusi Buku Bakat Menggonggong

Tidak berapa lama, saya dapat info kalau Dea akan mampir ke Bandung untuk tur buku ini, di TB Pelagia tempatnya. Saya tentu saja sangat ingin datang, tapi sebagai seorang ibu dua anak, satunya toddler, satunya belum genap dua bulan, ikut acara-acara di tempat terbuka seperti ini sangat bergantung pada mood anak-anak, energi saya hari ini—apakah masih tersisa atau tidak— dan kesediaan Bapak Hari untuk mengantar istrinya ke Bandung. Beruntungnya hari itu ketiga prasyaratnya terceklis, sehingga saya bisa ikut acara diskusi bukunya.

Lewat acara ini, saya jadi bisa dengar langsung terkait proses kreatif Dea dalam menulis, termasuk bagaimana tulisan fiksi dan nonfiksi Dea memang tidak jauh berbeda karena menggunakan cara bercerita yang sama, “Bedanya kalau esai ya harus benar info dan apa yang dibahas, tapi seharusnya pendekatan penulisan tidak mengkotak-kotakkan genre tulisan” katanya.

Dea juga berbagi tentang Fabulasi, yang ia gunakan dalam menulis beberapa cerita pendek di buku ini, ini yang menarik buat saya yang tidak pernah menulis fiksi, fabulasi ini teknik dimana penulis memasukkan beberapa cerita atau fakta yang benar adanya, sehingga pembaca penasaran “ini ceritanya beneran atau tidak ya?”. Saya lalu jadi ngeh, oh ini ya cara bercerita di Raden Mandasia di Pencuri Daging Sapi, yang sesudahnya membuat saya benar-benar cek mana yang benar mana yang karangan penulis. Di kumpulan cerpen ini, salah satu cerita yang menggunakan teknik ini adalah Kisah Afonso.

Bagaimana Dea menulis

Karena sudah datang langsung bertemu penulis yang bukunya sangat saya nikmati, tidak lengkap rasanya kalau tidak menyampaikan langsung bagaimana tulisan-tulisan Dea di dua kumpulan esainya: Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya dan Kenapa Kita Tidak Berdansa sangat berarti buat saya karena membuka jalan saya untuk berkenalan dengan buku-buku lain. Mulai dari Pulang karya Leila Chudori, Tempat Terindah di Dunia karya antropolog Roanne van Voorst, karya-karya Gabo (yang tentu saja belum saya baca semuanya, sampai The Makioka Sisters.

Selain apresiasi tersebut, saya tentu penasaran, bagaimana bisa menulis esai yang sangat baik seperti yang beliau tulis.

Menurut Dea, salah satu alasannya karena sebagai jurnalis, ia bukan tipe jurnalis yang bisa siap bangun pagi-pagi untuk mengejar narasumber, ia tipe jurnalis yang lebih ‘santai’ dan diakomodasi oleh pemred saat itu untuk menulis cerita yang sesuai dengan gayanya, jadilah ia yang harus menyesuaikan bagaimana caranya menulis cerita-cerita yang terlihat sederhana dari sudut pandang yang berbeda. Salah satu yang dikenangnya adalah saat ditugaskan di pulau tanpa penduduk saat Tahun baru, yang tidak memiliki nilai historis apapun atau tidak memiliki cerita unik apapun.

Kemampuan menuliskan cerita sederhana dari sudut pandang yang berbeda, ditambah lingkungan yang mengakomodasi dirinya menuliskan dengan gayanya alih-alih menjadikannya jurnalis yang harus bangun pagi untuk mengejar narasumber tadi, jadi kombinasi yang membentuk esai-esai Dea yang ciamik.

Ikut langsung diskusi buku kemarin rasanya sangat menyenangkan. Banyak sekali hadirin yang juga meramaikan diskusinya, ada yang pembaca seperti saya, ada juga jurnalis dan penulis, tidak hanya mendengar tentang teknis menulis, tapi juga pandangan Dea tentang bagaimana seharusnya ‘Sastra jangan terlalu banyak bicara’, mengkritisi Seno Gumira Ajimara yang bilang Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.

Sastra jangan terlalu banyak bicara, karena kalau menggantikan jurnalisme, jadi seperti berita. Jurnalisme harus berisik, sastra sebaliknya. Sastra tujuannya mengganggu pikiran orang, membuat orang-orang memikirkan lagi apa yang mungkin tidak dipikirkan, tidak seharusnya berkhutbah, itu tugas jurnalisme.

Membaca Bakat Menggonggong (2)

Saya baru bisa menuliskan pengalaman saya mengikuti diskusi buku kemarin setelah saya akhirnya menamatkan membaca Bakat Menggonggong. Saya masih tetap berpendapat membaca cerpen itu susah, bahkan ketika narasinya mengalir dan enak untuk dibaca seperti cerpen-cerpen Dea, ada beberapa cerpen yang harus saya baca berulang untuk benar-benar memahami maksud tulisannya. Sejujurnya beberapa cerpen tidak pusing-pusing saya cari maksudnya apa, tapi ya beberapa cerita betul-betul membekas.

Cerita favorit saya di buku ini adalah cerita yang saya kutip diatas. Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu. Saya suka sosok jurnalis dalam buku ini menjadi teman bercerita sosok Pat yang antisosial tapi menjadi banyak bicara ketika bertemu dengannya. Cerita lain yang membekas: Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu. dan Omong Kosong yang Harus Ada. Oh ini membekas sekali karena sempat dibahas sekilas di diskusi buku kemarin, tentang bagaimana sepinya menjadi seorang caregiver dan secara personal juga sedih sekali membaca kisah Ibu dalam cerita ini, yang begitu hebat lalu habis betul ketika disakiti seorang lelaki.

Buat yang tidak jago membaca cerpen, saya menikmati membaca kumpulan cerpen ini, kocaknya ada, pesimismenya terasa, kocak-kocaknya juga ada, tapi memang yang paling menyenangkan tetap bagaimana cara naratornya bercerita. Seabsurd apapun ceritanya, saya merasa seperti sedang membaca dongeng yang bagus.



 

Tak sampai lama Benny pun diundang ke acara-acara kelas atas di barrio alto, tempat tinggal para elite. Bila Anda berdiri di pusat kota Santiago dan melihat ke timur, pemandangannya nyaris selalu mencekat. Anda biasanya akan bisa melihat salju-salju menyelimuti pucuk-pucuk Andes yang megah menjulang di atas Anda, sementara ke bawah Anda berjalan melalui udara tebal hangat beraroma rempah-rempah tropis. 

Pada waktu Benny naik ke bukit ke lingkungan orang-orang kaya inilah ia pertama kali melihatnya: "Yakarta viene", "Djakarta se acerca", atau hanya "Jakarta". Ini mengejutkan. 

Ia harus bertanya ke sana-sini untuk tahu apa arti grafiti tersebut, dari mana slogan-slogan ini muncul. Ia akhirnya tahu, itu lebih mengejutkannya lagi. Ibukota negaranya telah bermakna bukan kosmopolitanisme, bukan solidaritas Dunia Ketiga dan keadilan global, namun kekerasan reaksioner. "Jakarta" artinya pembasmian brutal orang-orang yang mengupayakan dunia menjadi lebih baik. Dan sekarang ia berada di negara lain, yang juga disokong AS, yang pemerintahnya merayakan sejarah tersebut alih-alih mengecamnya. -- Metode Jakarta hal. 320.  

Cover Buku Salt to the Sea versi Bahasa Indonesia

Jika ditanya apakah saya tahu tragedi besar di lautan yang menelan banyak sekali korban, saya mungkin akan menjawab Titanic sebelum membaca buku ini. Fiksi sejarah 369 halaman ini mengajak saya dan pembaca lainnya untuk berkenalan dengan tragedi terlupakan yang enam kali lebih mematikan dibanding Titanic: Wilhelm Gustloff.

Salt to the Sea ditulis tahun 2016 dan mendapatkan banyak penghargaan, salah satu yang paling populer: Goodreads Choice Awards untuk kategori Best Young Adult 2016. Terjemahan Bahasa Indonesianya terbit tahun 2018, diterjemahkan dengan sangat baik oleh Putri Septiana Kurniawati. Sedihnya, saya baru pertama kali mendengar tentang buku ini ketika seorang kawan, membawa buku ini di Klub Buku Hayu Maca tahun lalu. Kala itu saya membaca As Long As the Lemon Trees Grow, Ica, membawa buku ini, yang temanya serupa: Perang dari sudut pandang masyarakat sipil, dan khususnya sudut pandang remaja atau usia dewasa awal. 

Saya penasaran sejak saat itu namun baru bisa betul-betul membaca buku ini bulan lalu, dan menurut saya ini jadi salah satu buku yang saya rekomendasikan untuk dibaca kalau kamu suka fiksi sejarah atau tema spesifik perang dunia kedua. 

Perang Dunia Kedua dan Wilhelm Gustloff

Ruta Sepetys, penulis buku ini mengajak saya kembali ke tahun 1945, masa-masa kelam bagi warga Jerman dan koloninya yang sudah diujung tanduk karena kalah perang dan harus melakukan banyak cara untuk bertahan hidup. Menariknya, buku ini ditulis dari empat sudut pandang. Emilia, Joana, Florian dan Alfred. Keempatnya adalah warga di usia remaja dan dewasa awal dengan latar belakang yang berbeda, namun dipertemukan di sebuah kapal besar yang akhirnya menentukan nasib mereka. 

Emilia, remaja perempuan yang dititipkan orang tuanya ke salah satu kerabat namun justru mengalami kejadian yang mengubah jalan hidupnya, bertemu dengan Florian, seorang pelarian asli Prusia, staf di Museum yang diurus langsung tangan kanan Hitler yang kabur membawa rahasia besar. Emilia dan Florian bertemu Joana dan rombongan perjalanannya; Heinz kakek tua pujangga sepatu, Klaus si pengembara kecil, Ingrid yang buta, dan Eva si wanita 50 tahunan yang berbadan besar seperti seorang viking. Mereka semua memiliki alasan yang kuat untuk segera mengungsi dan bertahan hidup. Bersama-sama mereka semua berusaha mencapai kapal Wilhelm Gustloff yang akan membawa mereka ke Kiel.

Melalui sudut pandang Emilia, Florian dan Joana, kita akan melihat bagaimana perang memengaruhi hidup mereka. Tentu saja ceritanya perih, namun kita tetap bisa menemukan kehangatan dari interaksi mereka, favorit saya sebetulnya bukan tokoh-tokoh yang menjadi pencerita ini, tapi justru Kakek tua Heinz dan Klaus si pengembara kecil. 

Empat Sudut Pandang dan Bab yang Ringkas

Saat membaca buku ini, awalnya saya dibuat pusing karena ada empat PoV atau sudut pandang yang membuat saya harus langsung switch PoV ketika Bab berganti. Masalahnya Bab dalam buku ini ringkas sekali, satu sampai empat halaman saja, ada beberapa yang lebih panjang tapi tidak banyak. Setelah agak lama membaca barulah mulai bisa ngeh sudut pandang siapa yang sedang bicara dan siapa mereka. Ini bisa jadi kelebihan buku buat yang tidak suka bab-bab panjang, namun juga jadi kekurangan buku ini buat pembaca seperti saya yang lebih menyukai paragraf-paragraf yang lebih kaya dalam menjelaskan kejadian di buku. Masalah selera dan preferensi membaca ya kalau ini. 

Oh iya, buku ini juga menarik karena menambahkan satu sudut pandang dari pelaku kejahatan perang, Alfred namanya. Sebetulnya dibilang pelaku pun, tidak ada kejahatan spesifik yang dilakukan Alfred, jadi bisa jadi saya salah. Namun Alfred digambarkan sebagai seorang Nazi totok, yang sangat mengagungkan Hitler dan sangat dipengaruhi propaganda Nazi. Alfred menjadi tokoh penting yang nantinya akan membantu Emilia, Joana dan Florian naik ke Wilhelm Gustloff. 

Perjalanan Darat dan Laut

Meskipun judul dan blurb yang diberikan adalah tentang tragedi di lautan dengan kapal yang membawa puluhan ribu orang, tiga per empat bagian buku ini berisi perjalanan di daratan, alias kita tidak akan langsung disuguhi cerita mereka di laut; agak berbeda dengan bayangan saya tentang buku ini, ketika membaca blurbnya saya kira pengalaman bacanya akan seperti membaca Life of Pi karya Yann Martel, buku yang sepanjang membaca membuat saya ikut berimajinasi, ikut mabuk laut dan dibuat ketakutan dengan ganasnya ombak. 

Meskipun begitu perjalanan di darat ini justru banyak memberikan cerita bagaimana satu sama lain tokoh di buku ini bertemu dan rahasia-rahasia yang mereka simpan rapat-rapat yang akhirnya terbongkar. 

Perjalanan darat, walaupun tidak menakutkan atau membosankan seperti perjalanan laut, juga memberikan beberapa adegan yang membuat kita deg-degan, salah satunya adalah saat rombongan penyintas ini harus menyebrangi danau es yang terlihat kokoh; dan memang kokoh! namun sebuah kejadian menimpa yang membuat semua yang sudah menyebrang harus mengambil langkah menyelamatkan diri. 

Akhir yang sesuai dengan apa yang saya harapkan

Kalau kamu kenal saya di kehidupan nyata, kamu pasti tahu saya tipe orang yang lebih suka cerita-cerita berakhir bahagia. Apalagi kalau perjalanan ceritanya perih betul. Nah buku ini memberikan akhir yang sesuai harapan saya, walaupun tidak bisa dibilang happy ending banget-banget. Akhir buku ini loncat ke beberapa puluh tahun kemudian, dan menjelaskan keadaan tokoh-tokoh di buku ini setelah tragedi Wilhelm Gustloff. Tentu saja tidak semua orang selamat, tapi ada yang bertahan. 

Sekali lagi, kalau kamu suka fiksi sejarah, aman-aman saja dengan cerita pilu tentang perang, dan menyukai cerita dengan beberapa fakta sejarah yang tidak banyak dibicarakan, saya sangat merekomendasikan kamu untuk baca buku ini! 


Matahari sore yang masuk ke tempat baca baru, memberikan cahaya yang indah


Hal paling impulsif yang saya lakukan di bulan Mei: Pindah Workspace. Alias beberes sambil pemulihan paska operasi :) Gara-gara menemukan salah satu tumpukan pensil warna saya berjamur (yaiks), saya langsung senewen karena khawatir ini merembet kemana-mana, dan betul saja, beberapa buku yang letaknya cukup tertutup di ujung berjamur juga, padahal saya sudah pakai serap air dan silika gel seperti yang disarankan banyak orang, tapi ternyata tidak cukup karena bagian belakang tembok rumah kontrakan kami kali ini berbatasan langsung dengan saluran air dan terkena air hujan langsung. Akhirnya setelah melihat saya sudah hampir menangis mengurus buku-buku berjamur ini, Mas Har bantu saya pindahan ke ruangan paling depan rumah :) 

Ruangan paling depan rumah, umumnya dijadikan banyak orang ruang tamu. Tapi sejak awal pindahan kami memang tidak pernah merencanakan ruangan khusus buat tamu, kalau ditarik mundur lagi, tiga kali pindah rumah, tiga kali juga kami tidak pernah punya ruang tamu, alasannya simple: kami jarang sekali menerima tamu. 

Tamu paling sering yang datang adalah keluarga terdekat kami, kedua yang datang tapi tidak sering adalah teman-teman saya, dan semuanya aman-aman saja duduk-duduk di ruang 'keluarga' yang setiap hari kami gunakan untuk main Rana, nonton, baca buku atau tidur-tiduran saja. Rumah kami sekarang, punya ruangan yang saya yakin dimaksudkan buat ruang tamu sama pemiliknya, tapi kami jadikan 'garasi' untuk sepeda-sepeda kami. Saya, Mas Har dan Rana punya sepeda sendiri-sendiri dan butuh space lumayan besar :'). Karena ruangan ini adalah ruangan yang paling kaya sinar matahari, saya minta pindah ruang kerja dan perpustakaan ke sini. 

Malam setelah saya beberes, saya langsung dibantu Mas Har pindahan. Karena saya masih tidak boleh angkat-angkat barang berat, Mas Har memindahkan rak-rak dan buku-buku ini sendirian (Hua, thanks Mas). Saya butuh waktu seminggu penuh sampai akhirnya selesai beberes. Sambil menawarkan beberapa buku yang tidak lagi spark joy untuk dijual di Medsos. Lumayan banyak yang keluar dari rak, Alhamdulillah. Thank you yang sudah ikut meramaikan sesi preloved kemarin! 

Workspace baru!


Sekarang saya sudah bisa menikmati workspace baru saya. Sukaaaa sekali karena matahari masuk begitu indah tiap sore. Walaupun ini hanya bisa dinikmati beberapa kali saja seminggu, karena Cimahi sedang sering sekali hujan, tapi MasyaAllah. Kalau sedang duduk baca buku atau menulis seperti sekarang rasanya menyenangkan sekali. 

Berkah Cahaya Matahari

Sinar matahari adalah hal yang terlihat biasa dan sering luput disyukuri saya atau kamu yang mungkin tinggal di Indonesia. Alasannya tentu saja karena kita tinggal di negara tropis yang tak berhenti mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun, kecuali saat hujan. Dulu saya kira saya baru akan mensyukuri nikmat ini ketika punya kesempatan tinggal di negara sub tropis yang musim gugur atau dinginnya menyeramkan. 

Nyatanya baru merantau ke Jakarta saja, saya dihajar realita kalau untuk mencari kosan dengan akses ke sinar matahari mahal betul harganya. Ketika bekerja di Jakarta 2018 lalu saya tinggal hampir setahun di kosan yang tidak punya akses langsung ke sinar matahari, karena hanya kosan tersebut yang mampu saya sewa. Untungnya, tempat kerja saya dekat sekali dengan taman suropati. Tiap pagi, sebelum ke kantor, turun dari Transjakarta, saya sering moyan dulu. 

Beberapa tahun terakhir setelah menikah dan pindah ke Cimahi lagi, saya dapat akses lebih baik ke sinar matahari, tapi kemudian diingatkan lagi tentang nikmatnya mendapat sinar matahari ketika bekerja seminggu penuh mengurusi sebuah pelatihan di sebuah Hotel bintang empat di Jakarta. Di hari ketiga saya sudah sakit-sakitan gak jelas, suasana hati juga lebih banyak murungnya, di hari keenam, tidak menunggu waktu, tanpa istirahat, begitu selesai kegiatan saya langsung mencari transportasi tercepat untuk pulang. 

Ternyata saya gak perlu merantau jauh-jauh ke negara bersalju dulu untuk menyadari kalau nikmat sinar mentari adalah nikmat begitu besar dari Tuhan, tapi sering kali lupa berucap syukur atas keberadaannya.




Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • [Review Asri] Atomic Habits - James Clear
  • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
  • Review Asri: Jalan Panjang untuk Pulang karya Agustinus Wibowo
  • Review Asri: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh
  • [Review Asri] Kemarau - A.A. Navis
  • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, Bacaan untuk Memahami Pembantaian Massal 1965 dalam Konteks Global
  • Review Asri - Tempat Terbaik di Dunia karya Roanne Van Voorst
  • Review Asri: Pengantin-pengantin Loki Tua karya Yusi Avianto Pareanom
  • Review Asri: Minimarket yang Merepotkan karya Kim Ho-yeon

Arsip Blog

  • ▼  2025 (22)
    • ▼  Juni 2025 (4)
      • Review Asri: Lauk Daun karya Hartari; Cerita yang ...
      • Membaca Bakat Menggonggong dan Mengintip Proses Me...
      • Review Asri: Metode Jakarta karya Vincent Bevins, ...
      • Review Asri: Salt to The Sea karya Ruta Sepetys
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (2)
    • ►  Maret 2025 (2)
    • ►  Februari 2025 (3)
    • ►  Januari 2025 (6)
  • ►  2024 (8)
    • ►  November 2024 (1)
    • ►  Agustus 2024 (1)
    • ►  Juni 2024 (1)
    • ►  Mei 2024 (2)
    • ►  April 2024 (3)
  • ►  2023 (17)
    • ►  November 2023 (1)
    • ►  September 2023 (1)
    • ►  Juli 2023 (4)
    • ►  Juni 2023 (4)
    • ►  Maret 2023 (2)
    • ►  Februari 2023 (2)
    • ►  Januari 2023 (3)
  • ►  2022 (52)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  September 2022 (12)
    • ►  Agustus 2022 (2)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (4)
    • ►  Mei 2022 (9)
    • ►  April 2022 (7)
    • ►  Maret 2022 (5)
    • ►  Februari 2022 (6)
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (35)
    • ►  Desember 2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  Agustus 2021 (3)
    • ►  Juli 2021 (2)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (3)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (2)
    • ►  Februari 2021 (6)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  November 2019 (1)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (2)
    • ►  Juli 2019 (2)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (15)
    • ►  Desember 2018 (4)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (3)
    • ►  Januari 2018 (2)
  • ►  2017 (20)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (3)
    • ►  September 2017 (2)
    • ►  Agustus 2017 (4)
    • ►  Juli 2017 (4)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (2)
  • ►  2016 (65)
    • ►  Desember 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (17)
    • ►  Juni 2016 (7)
    • ►  Mei 2016 (7)
    • ►  April 2016 (25)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (29)
    • ►  Desember 2015 (3)
    • ►  September 2015 (2)
    • ►  Agustus 2015 (13)
    • ►  Juli 2015 (4)
    • ►  Juni 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (3)
  • ►  2014 (29)
    • ►  Desember 2014 (8)
    • ►  November 2014 (6)
    • ►  Oktober 2014 (2)
    • ►  September 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (2)
    • ►  Februari 2014 (6)
  • ►  2013 (66)
    • ►  Desember 2013 (1)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  Oktober 2013 (7)
    • ►  September 2013 (7)
    • ►  Agustus 2013 (15)
    • ►  Juli 2013 (4)
    • ►  Juni 2013 (8)
    • ►  Mei 2013 (2)
    • ►  April 2013 (5)
    • ►  Februari 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (9)
  • ►  2012 (6)
    • ►  November 2012 (4)
    • ►  Oktober 2012 (2)
  • ►  2011 (8)
    • ►  Oktober 2011 (4)
    • ►  September 2011 (1)
    • ►  Maret 2011 (3)

Goodreads

Asri's books

Kejutan Kungkang
it was amazing
Kejutan Kungkang
by Andina Subarja
The Fine Print
liked it
The Fine Print
by Lauren Asher
Under One Roof
liked it
Under One Roof
by Ali Hazelwood
Lessons from Surah Yusuf
it was amazing
Lessons from Surah Yusuf
by Abu Ammaar Yasir Qadhi
Setelah membaca ini sampai selesai malam ini. Jadi paham kenapa Allah bilang kalau Kisah Yusuf ini salah satu kisah terbaik dalam Quran. Ada terlalu banyak pelajaran berharga dari kisah Yusuf. Dr. Yasir Qadhi mengawali buku ini dg sebab...
No Exit
liked it
No Exit
by Taylor Adams

goodreads.com

Blog Perempuan

Blog Perempuan

Cari Blog Ini

Kamu pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Journal Asri. Designed by OddThemes