Sejak membaca tulisan tersebut, saya bertekad untuk membaca buku Leila Chudori yang satu ini. Sebetulnya saya pernah mencoba membaca karya Bu Leila yang cukup hits, Laut Bercerita. Tapi ya, tidak selesai, saya lupa alasan kenapa waktu itu bukunya tidak selesai saya baca, tapi sepertinya salah satu alasannya karena pace ceritanya yang cukup lambat di awal, ditambah bukunya buat saya overhype di Twitter/X, membuat saya jadi malas duluan membacanya. Tapi ternyata buku Pulang berbeda ya.
Saya membaca Pulang agak lama. Tiga bulan lamanya, saya tahu betul karena saya track bacaan saya di Goodreads. Lalu apa yang membuat Pulang berbeda?
Saya membaca Pulang ketika film Eksil garapan Lola Amaria diputar secara terbatas di Februari 2024. Sebuah film yang topiknya sama dengan Pulang; menceritakan kisah orang-orang Indonesia yang menjadi korban konflik politik dalam negeri sehingga mereka tidak bisa pulang, dan kehilangan kewarganegaraan. Saya tidak bisa menonton Eksil. Sekali lagi karena pekerjaan sedang padat-padatnya, tapi selain itu juga karena film ini diputar terbatas dan bioskop yang memutar film ini di Bandung, lokasinya cukup jauh dari rumah saya. Karena tidak bisa menonton Eksil, saya menonton Surat dari Praha di Netflix, tapi itu tidak cukup membuat saya terpuaskan dengan cerita eksil 65, sehingga akhirnya saya memutuskan membaca Pulang.
Saya rasa, saya akan agak kesulitan menuliskan Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, karena apa yang saya rasakan hampir secara keseluruhan telah termuat dalam review Dea Anugrah (aduh, saya sangat berharap bisa menuliskan reviu buku sebaik itu :')).
Tapi yaa rasanya gatal juga tidak menuliskan pengalaman saya membaca buku ini. Jadi kurang lebih berikut catatan saya membaca buku Pulang.
Fiksi Sejarah yang cemerlang
Pulang adalah sebuah buku penting untuk memahami sejarah yang terjadi pada kaum intelektual Indonesia pada saat tragedi 1965 terjadi. Singkatnya, buku ini menggambarkan betul bahwa 'korban' dalam peristiwa ini bukan hanya orang-orang yang dituduh PKI tanpa bukti dan tanpa pengadilan. Korban yang jarang mendapatkan sorotan ya contohnya para eksil seperti tokoh utama dalam buku ini, Dimas Suryo, seorang wartawan yang dekat dengan orang-orang kiri, namun tidak pernah secara terbuka memproklamirkan diri sebagai seorang komunis, bahkan cenderung tidak sepaham dengan gagasan yang diusung, kebetulan berada di luar negeri pada saat tragedi berlangsung, dan tertahan tidak bisa pulang.
Bukan sebuah kebetulan, Leila juga menyuguhkan dua sejarah besar Indonesia yang terjadi di buku ini:
- Tragedi 1965 dan implikasinya pada Dimas dan teman-temannya, keluarganya, serta anak-anaknya di masa mendatang.
- Tragedi 1998; Yup! di sepertiga bagian akhir buku, kita akan membaca cerita Lintang Utara (anak Dimas Suryo) yang datang ke Indonesia untuk membuat film pendek tentang tahun 1965. Lintang datang ke Jakarta yang sedang cukup panas saat itu, jadi di buku ini, kita juga bisa melihat apa sih yang terjadi pada waktu tragedi 1998 terjadi, walaupun tentu dari sudut pandang Alam, Lintang dan rekan-rekannya yang tidak secara langsung menjadi korban dari tragedi ini.
Karenanya, buku ini adalah buku yang sangat baik jika kamu ingin membaca buku fiksi sejarah Indonesia. Dua latar penting buku ini sangat berhubungan. Awal dan akhir sang Jenderal. Awal dan akhir seorang pemimpin yang selama 32 tahun menjadi presiden di Indonesia, terpotret lewat keseharian 'korban' atau masyarakat umum, yang bukan siapa-siapa, tapi kena getahnya juga.
Kisah Cinta yang Bertebaran, dari yang Mendalam sampai yang Begajulan
Selain mengambil tema sejarah, penting untuk diketahui bahwasanya buku ini merupakan buku dengan tema percintaan yang begitu kental! Tapi saya tidak bisa mengeluh, karena seperti yang Dea Anugrah tulisakan dalam Esainya tentang novel Pulang, "Memangnya siapa yang betah membaca novel setebal 500 halaman yang tak ada kisah cintanya?".
Ada banyak kisah cinta di sini, dari yang terlihat megah dan dalam seperti kisah cinta Dimas dan Surti, yang saya tahu betul sangat menarik buat banyak orang, yang juga sangat realistis, karena kita tidak selalu bisa mendapatkan orang yang kita inginkan, kan ya?, lalu ada juga kisah cinta yang meletup-letup dan begajulan seperti kisah Lintang dan Alam, yang ini mungkin tidak disukai banyak orang karena melibatkan adegan perselingkuhan, tapi ya saya menikmati saja kisah cinta mereka berdua, yang ini mungkin dipengaruhi kebiasaan dan kesenangan saya membaca cerita contemporary romance yang dua tokohnya mungkin bertemu diawali dengan perseteruan, tapi berakhir jatuh cinta.
Nah, uniknya kita tidak hanya akan membaca kisah mereka berdua. Tapi juga kisah rekan-rekan sekitar tokoh utama yang saling jatuh cinta, lalu karena setting waktu di buku ini yang sangat lama rentangnya, kita akan bisa melihat, bagimana cinta adalah sesuatu yang harus terus menerus dipelihara dengan serius, jika tidak akan selalu ada konsekuensi yang menanti. Apakah konsekuensi ini berarti buruk? seperti perceraian? belum tentu. Saya misalnya sangat senang ketika Vivienne memutuskan bercerai dari Dimas, tapi kan memang tetap ada yang menjadi 'korban' dan patah hati dari tiap putus dan perceraian. Dalam kasus Vivienne dan Dimas, ya yang paling patah hati adalah Lintang, anaknya yang tak lagi mendapatkan privilese orang tua lengkap.
Kita bisa memilih untuk menikmati saja tokoh-tokoh di buku ini berproses pada kisah cinta mereka, atau bisa juga belajar dari kisah cinta mereka.
Tak ada gading yang tak retak
Tentu saja buku ini tak jadi buku yang 100 persen sempurna. Kritik saya terhadap buku ini agak mirip dengan kritik Dea di esainya, bahwasanya tokoh di buku ini seringkali hitam putih, terutama penggambaran tokoh antagonis seolah-olah tak ada kebaikannya sama sekali, saya beneran melongo waktu Rininta, tunangan Rama (sepupu Lintang) digambarkan sebagai perempuan anak orang kaya yang hanya tahu belanja dan hura-hura di Paris sana. Konflik Rama malah jadi melempem. Tidak terbayang kalau ternyata Rininta perempuan terpelajar yang juga tidak mudah menghakimi. Pasti lebih seru. Tapi pilihan ini sedikit banyak juga dimaklumi, karena pasti tulisannya akan jadi lebih tebal dan konflik-konfliknya makin melebar.
---
Secara keseluruhan, Pulang menjadi buku yang menyenangkan untuk saya baca, dan sangat saya rekomendasikan untuk dibaca teman-teman yang ingin mulai membaca fiksi sejarah Indonesia. Dengan catatan ini bukunya U17 yaa ratingnya!
Kalau kamu memutuskan untuk membaca buku ini, jangan lupa lanjutkan dengan menonton film eksil dan surat dari praha supaya semakin lengkap membaca perspektif Dimas dan sosok eksil real yang telah berpulang ataupun yang masih ada di negeri seberang.