|
Big Feelings by Liz Fosslien dan Mollie West Duffie |
Bulan Juli diawali dengan membaca sebuah buku non-fiksi yang ditulis oleh salah satu kreator favorit saya: Liz dan Mollie. Beberapa tahun lalu saya pernah membaca buku mereka berjudul No Hard Feelings dan jatuh cinta pada cara Liz dan Mollie menulis dan membuat ilustrasi yang tepat tentang perasaan-perasaan yang jarang dibicarakan.
Dalam buku Big Feelings, Liz dan Mollie membahas beberapa perasaan yang mengungkung kita, atau membuat kita berada di fase yang tidak baik-baik saja. Total ada 7 perasaan yang dibahas.
1. Uncertainty
2. Comparison
3. Anger
4. Burnout
5. Perfectionism
6. Despair
7. Regret
Saya menandai nomor 3 dan nomor 4 karena dua perasaan tersebut yang sepertinya sangat-sangat relevan dengan saya. Namun dalam post ini, saya akan bahas satu perasaan yang menurut saya amat sangat sering dan normal kita rasakan. +perlu dipahami apa sih yang membuat kita merasa seperti itu.
Anger
Sebagai seorang perempuan yang besar di Jawa Barat, marah bukanlah perasaan yang umum dilihat atau dikeluarkan. Saya jarang sekali marah meledak yang sampai teriak-teriak, tapi kalau membaca buku ini. Sebetulnya saya cukup sering marah, tapi marahnya sering kali terconvert lewat nangis (hehe). Saya juga jarang menyebutkan perasaan marah, biasanya saya bilang "Saya kesal". Selain nangis, marah atau kesalnya saya, bentuknya diam. Diam tidak bicara, apa yang orang-orang sebut 'silent treatment', yah kurang lebih begitu kalau saya sedang marah. Apa yang disebut di buku ini sebagai sesuatu yang tidak sehat.
Nah, buku ini membahas tentang memahami perasaan anger ini. Dengan mengerti apa yang mentriggers kita untuk marah, dan tendensi kita ketika kesal atau marah ini ngapain sih. Kemudian membantu kita membuat strategi supaya bisa address the unmet needs dibalik kekesalan kita.
Cari tahu yang membuat kamu kesal
Apa sih yang mentrigger kamu jadi kesal?
- Merasa tidak didengar?
- Mereasa sebuah keputusan dibuat secara tidak adil?
- Lagi ngomong disetop ditengah-tengah atau disela?
- Ada orang yang melakukan sesuatu yang berdampak ke kamu tapi gak izin dulu?
- Ketika ada orang kasih tahu harus A, B, C tanpa dengerin dulu kamu yang sebetulnya sudah mau melakukan A, B, C?
- dan lain-lainnya.
Mengidentifikasi kekesalan kamu, bsia membantu menantisipasi kapan nih, kita akan kesal dan membuat kamu bisa mengurangi amygdala hyjack. Sebua situasi dimana respon kita cepat dan overwhelming, atau meledak kali yaa, apapun bentuk emosinya, teriak-teriak, panik atau nangis.
Memahami tendensi kamu ketika kesal
Selain triggers yang beragam, respon orang ketika sedang marah atau kesal juga tendensinya beragam. Ada 4 tendensi yang ditulis Liz dan Mollie di buku ini.
1. Anger Supperssor
Ketika marah atau kesal buru-buru menurunkan emosi supaya tidak kesal (yang biasanya proses di alam bawah sadar), lalu punya tendensi menyalahkan diri sendiri, bahkan ketika hal tersebut terjadi bukan karena kesalahan kamu. Tendensi ini membuat kamu merasa tidak nyaman ketika sedang marah atau kesal. Padahal ketika rasa marah atau kesal ditahan, ini juga gak baik karena bisa memicu depresi atau gejala kecemasan, belum lagi tekanan darah tinggi yang bisa naik.
Kalau kamu masuk ke kategori supperssor, kamu disarankan untuk latihan mengkomunikan rasa kesal atau marah kamu di tempat atau ke orang yang membuat kamu merasa nyaman. Gak perlu langsung besar, bisa sesimple minta partner kamu untuk gak simpan handuk sembarangan. Singkatnya: belajar menjadi asertif
2. Anger Projector
Kontras dengan poin diatas, orang dengan tendensi anger projector sering kali mengekspresikan rasa marah dan kesalnya secara agresif ke orang lain atau ke objek tertentu. Misal suka banting pintu keras-keras kalau marah atau ngata-ngatain orang ketika sedang kesal.
Kalau kamu masuk ke kategori ini, disarankan untuk buat waktu jeda, antara trigger dan respon kamu, supaya kamu bisa cool down dulu. Ada sebuah teknik TIPP (temperatur, intese excercise, paced breathing dan progressive muscle relaxation) untuk latihan. Ambil jeda dengan keluar dulu dari ruangan, cuci muka pakai air dingin, melakukan aktivitas fisik atau kalau memang tidak bisa keluar dari ruangan atau situasi tersebut, bisa dengan ngomong kalau "Saya butuh waktu sebentar" agar tidak menjawab secara impulsif.
3. Anger Controller
Kamu melakukan apapun untuk terlihat tenang walaupun sangat marah atau kesal. Alih-alih fokus memahami apa yang mentrigger kemarahan tersebut, kamu fokus untuk mengontrol emosi wajah. Sering kali orang yang berada dalam kategori ini sampai berubah nada bicaranya karena menahan marah, dan pulang dalam kondisi marah yang belum usai.
Kalau kamu masuk kategori ini, coba untuk lebih nyaman dengan perasaan marah atau kesal ini. Bisa dengan cara sederhana seperti bilang ke diri sendiri: "Aku kesal and that's okay".
4. Anger Transformer
Kategori ini punya tendensi untuk menyelesaikan marah dengan mengenali dan memahami kebutuhan yang lebih dalam. Orang-orang di kategori ini juga menyadari bahwa rasa marah dan kesal bisa diklarifikasi dan sehat kalau tidak diproyeksi ke hal lain atau kedalam diri kita sendiri.
Kalau kamu sudah di kategori ini, lakukan apa yang memang sudah kamu lakukan.
Mengidentifikasi kebutuhan dibalik rasa kesal atau marah
Ada tips menarik di buku ini untuk melakukan identifikasi kebutuhan kita ketika marah: coba tulis surat yang tidak dikirimkan ke siapa-siapa (atau bisa email ke diri sendiri) ketika sedang marah. Ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa membantu kamu dalam mengklarifikasi alasan-alasan kenapa kamu marah:
- Apa yang membuat kamu marah?
- Apa yang membuat kamu ada di situasi tersebut?
- Apakah ada perasaan lain yang mendasari rasa marah kamu?
- Aku harus melakukan apa supaya bisa okay sekarang?
- Apa outcome jangka panjang yang bisa membuat say amerasa lebih baik?
- Saya harus ngapain untuk mencapai outcome itu?
- Untuk setiap step mencapai outcome tersebut, apa saja plus minusnya?
Anger needs to be addressed; otherwise it becomes damaging. Karenanya, perlu untuk ambil jeda ketika marah atau kesal agar tidak melakukan hal impulsif yang membuat kita menyesal di kemudian hari.
Mengekspresikan rasa marah atau kesal
Salah satu riset yang dikutip di buku ini menyebutkan kalau orang-orang yang bisa mengekspresikan perasaan mereka (termasuk rasa kesal) itu bisa hidup lebih sehat dibanding orang-orang yang suka menahan perasaan, menerjemahkan emosi yang kita rasakan kedalam bahasa tertentu baik ucapan langsung atau tulisan itu bisa membebaskan otak kita dari perasaan-perasaan negatif.
Salah satu hal yang sangat disarankan, sekali lagi adalah: mencoba komunikasi asertif.
Selain itu, kita bisa mencoba untuk journaling emosi kita, tapi alih-alih menggunakan kata angry, kita bisa menggunakan beberapa emosi yang cukup spesifik seperti:
- Kecewa
- Sebal
- Frustasi
- Tidak berdaya
- Marah
- atau menggunakan bahasa daerah yang lebih dekat dan bisa diterjemahkan sebagai emosi yang tepat.
Takeaways
Beberapa takeaways yang bisa saya dapatkan dari chapter Angry
- Marah itu alarm dari dalam diri kita; coba untuk mendengarkan apa yang coba ia sampaikan
- Coba cari apa yang mentrigger kita marah
- Pahami gaya marah kita untuk bisa mengekspresikan marah dengan lebih baik dan sehat
- Allow yourself to be upset lalu cari juga kebutuhan emosi yang membuat kamu mengalami emosi tersebut
- Komunikasikan kebutuhan kamu secara asertf