Hari ini saya membaca buku lama yang cukup legendaris, bahkan sudah difilmkan tapi saya terlalu malas untuk meminjam buku teman atau membeli DVDnya. Minggu kemarin saya ke dewi sartika dan nemu buku ini, 15ribu doang hehe, kalau kalian bookworm pasti pada tau buku ini,
"The Kite Runner".
Saya baca dari siang tadi dan baru aja selesai baca, karena kemarin janji kalau computer udah beres mau langsung nulis, saya mau nulis tentang buku itu aja sedikit. Nulis resensi buku lama bisa jadi basi banget, tapi ada yang saya suka dari buku ini. Setting ceritanya di Afganistan, Negara yang sampai hari ini masih ngerasain dampak perang berkepanjangan itu.
Sebelumnya saya pernah baca buku Stones in to Schoolnya Greg Mortesson, tapi ini bukan novel, isinya pengalaman langsung Greg ngebangun sekolah untuk anak-anak perempuan di daerah pegunungan Afgan. Disana anak-anak perempuan enggak bisa seenaknya sekolah karena dilarang oleh Taliban. Seperti yang kita tau, cerita tentang susahnya anak perempuan sekolah masih sering terdengar dari daerah sana, dan akibatnya bisa panjang, sampai ke kurangnya tenaga medis disana dan tingginya tingkat kematian bayi dan ibu yang melahirkan. Greg ini punya program membangun sekolah-sekolah khusus untuk anak perempuan dan pastinya perjuangannya ga mudah. Dan semuanya, bisa dibilang akibat dari perang dan ekstrimis yag ga tau dasarnya apa bisa seenaknya membunuh manusia.
Both The kite runner dan Stones in to school sama-sama membicarakan Afganistan. Bagaimana rasanya hidup didaerah setelah perang berkepanjangan, bagaimana ketika kita disini asyik merangkai mimpi 1, 2, 5 hingga 10 tahun kedepan, anak anak disana malah harus bingung mencari Ayah dan Ibunya yang di tembak Taliban dan tak tau harus kemana. Tahun lalu, kalau teman-teman ada juga yang mengikuti Humans of New York (semacam akun sosmed yang berbicara tentang kisah2 orang-orang di New York), adminnya berkesempatan untuk ikut tur PBB ke 10 Negara dan beberapa di antaranya Negara pasca perang, dalam satu postingan adminnya pernah cerita, di New York, saya bisa bertanya "what is your biggest dream?" dan orang bisa dengan senang hati bercerita.
Tapi di daerah pasca perang yang masih rawan baku hantam semacam afgan, disbanding bermimpi mereka bakal lebih senang untuk memikirkan apa mereka masih bisa hidup besok.
Cerita tentang perang memang ga ada yang manis, bahkan dibuat seromantis macam film-film Hollywood pun, perang selalu meninggalkan luka. Kita harusnya bersyukur bukan ? Hidup di Indonesia. Negeri indah dimana kita masih bisa merasa nyaman pergi keluar di siang hari, jalan-jalan, bercengkrama dengan keluarga, bahkan sekarang memaki pimpinan Negara di sosmedpun seperti bukan hal tabu lagi. Kita bisa hidup dengan kehidupan dan mimpi kita. Masih bisa berandai untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari tanpa sibuk memikirkan bunyi senapan atau ranjau aktif yang salah injak sedikit bisa menghancurkan kita berkeping-keeping.
Saya bingung ingin menuliskan kesimpulan apa dari cerita saya diatas, biasanya saya selalu gagal membuat kesimpulan yang baik saat membuat cerita spontan seperti saat ini, tapi ada satu hal yang saya dapat dari buku-buku tersebut, "Bersyukurlah hidup di Indonesia, dan jika bisa sebisa mungkin janganlah memulai perang, perang selalu meninggalkan luka"