Setelah membaca Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, saya mengakui dengan terbuka kalau saya jadi kecanduan membaca tulisan-tulisan Dea Anugrah. Lewat buku ini saya menemukan banyak sekali jawaban dari beberapa pertanyaan yang saya cari. Unik sebetulnya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan (yang kebanyakan tentang kehidupan) dari sebuah kumpulain esai, kumpulan tulisan dari seorang wartawan. Tapi dalam hidup ini, memang semua orang adalah murid dan semua orang adalah guru bukan?
Membaca buku ini, saya merasa menjadi seorang murid yang belajar. Belajar banyak.
Kisah-Kisah Personal
Buku ini sedikit lebih tipis dari buku pertama, 130 halaman saja. Total esainya pun lebih sedikit, 17 di buku ini, di buku sebelumnya ada 20 total tulisan. Namun buat saya, tulisan-tulisan di buku ini jauh lebih personal. Karena memang banyak hal personal juga yang dibagikan Dea di buku ini. Dari sedikit cerita tentang sosok ayahnya di tulisan pertama, hingga kisah sentimental perjalanan awal Dea sebagai seorang Ayah di tulisan terakhir.
Selain dua tulisan diatas, ada beberapa tulisan yang juga personal. Seperti masa awal kuliah di tulisan berjudul Kalau Nasi Sudah Menjadi Bubur, mungkin tulisan itu rasanya personal juga buat saya, yang seperti Dea, pernah coba ikut KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) di awal masa kuliah, hihi, namun kenangan saya lebih pendek lagi, hanya ikut DM (Daurah Marhalah?) semacam on boarding yang luar biasa membuat saya mengantuk hingga saya ketiduran. Akibat ketiduran itu, saya dihukum lari keliling lapangan! (dihukum lari di usia kuliah!) Kalau dipikir-pikir lagi, sekarang saya tahu kenapa saya mundur waktu itu.
Namun diantara semua tulisan dibuku ini, yang amat sangat membekas buat saya adalah tulisan berjudul Rumah = Nostalgi + Fantasi. Lewat tulisan ini Dea menuliskan sebuah hipotesis mengapa ia enggan pulang ke rumah. Mengapa mudik adalah tradisi yang tidak ia tunggu-tunggu.
Mungkin sebabnya adalah kemarahan. Saya marah karena pernah terpaksa menumpang tinggal di rumah orang lain, terpisah dari semua anggota keluarga. (Hal. 62)
Saya menandai paragraf ini, tulisan ini memperlihatkan sebuah pemahaman yang penting buat Dea, yang paham akar masalah dalam dirinya, memahami inner child yang bisa membuat persepsinya tentang Rumah jadi berbeda dengan kebanyakan orang.
Tulisan ini spesial buat saya karena saya pernah merasakan hal ini, dalam kasus saya, saya tak sampai takut pulang atau menghindari keluarga. Ketika kecil dulu, keluarga saya pernah berada di masa-masa kelam dimana Bapak dan Ibu saya harus segera hijrah ke Cimahi, sebelumnya kami tinggal di Cirebon. Saya yang waktu itu kelas 5 SD, ditinggal, dititip dengan embah saya yang sudah sangat sepuh untuk menyelesaikan sekolah saya.
Saya jadi anak perempuan yang amat nakal, tak pernah belajar, tak pernah mengerjakan PR, datang ke sekolah selalu mepet bel masuk, saya bahkan pernah mencuri uang embah saya untuk jajan (jajan apa saya lupa), tapi ada perasaan ditinggalkan yang membuat saya akhirnya mencari perhatian orang tua saya dengan cara lain.
Baru ketika saya sebesar ini, saya tau sulitnya mencari uang, saya punya anak. Saya sadar keputusan yang orang tua saya ambil juga bukan keputusan yang mudah.
Ketika saya akhirnya pindah ke Cimahi, saya merasa jadi orang paling bodoh di dunia. Berada disekitar sepupu saya yang disekolahkan orang tuanya di sekolah swasta terbaik, rajin mengaji dan bisa Bahasa Inggris, diluar saya tak punya teman, saya tak terlalu pandai bergaul waktu kecil, mungkin salah satu penyebabnya karena saya minder. Saya tak cerdas dan tak punya uang. Rumah saya kecil, sangat kecil, hanya punya satu kamar dan harus berbagi dengan adik-adik saya.
Membaca tulisan ini membangkitkan semua kenangan itu, di akhir tulisan saya membubuhkan tambahan komentar. Rasanya seperti membaca fiksi (karena mengalir begitu indah, dan rasanya seperti membaca kisah saya sendiri.
Saat ini, saya amat dekat dengan keluarga saya. Namun saya juga paham benar ada beberapa hal yang tersisa dari masa lalu yang membuat saya punya kebiasaan yang agak aneh sekarang. Contoh paling tampak: tak pernah pikir panjang dalam membeli buku, semahal apapun itu dan betapa itu uang terakhir di dompet saya pun, akan saya gunakan untuk membeli buku karena buat saya membeli buku adalah kemewahan, membeli buku adalah bentuk paling tinggi saya tidak merasa miskin. Hal yang tidak bisa saya lakukan ketika kecil, dan tidak bisa orang tua saya lakukan untuk saya kala itu.
Politik
Selain hal-hal personal yang begitu dekat dengan saya. Ada beberapa tulisan di buku ini yang berkaitan dengan politik. Kita akan mendengar cerita tentang distrik dan kritik Dea pada pejabat yang seringkali berjarak dengan masyarakat yang tinggal di kampung-kampung. Judul buku ini, Kenapa Kita Tidak Berdansa, adalah tulisan Dea saat Jakarta berulang tahun. Ia menuliskan beberapa poin terkait polarisasi politik yang terjadi di masa pilpres dan pilgub DKI juga. Ah, ada juga catatan Dea ketika sedang kerja lapangan saat terjadi demo besar di Jakarta pasca Pilpres 2019.
Saya ingat ketika pilpres 2019 saya juga ada di Jakarta, masa-masa mengerikan itu agak terasa karena kantor saya kebetulan ada di Menteng, hanya berjarak dua halte bus saja dari kantor KPU. Demo dan kerumunan orang lewat biasa saya lihat.
Menulis dan Membaca
Asal Usul Penderitaan dan Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang adalah dua tulisan yang saya tandai khusus karena berkaitan dengan dua hobi saya saat ini: menulis dan membaca.
Tulisan pertama, Asal Usul Penderitaan, berangkat dari sebuah tantangan dan pertanyaan tentang menulis. Sebetulnya, apa tujuan kita dalam menulis? (dalam buku ini, apa tujuan Dea dalam menulis).
Saya senang membayangkan bahwa saya menulis untuk meneruskan kebaikan buku-buku yang pernah saya baca. Ada harapan kelak, entah dari mana, tulisan-tulisan saya menyentuh seseorang dan mengubah caranya memandang dunia. (paragraf 2, hal. 48)
Tetapi tulisan tak sepatutnya dibuat dengan tujuan mengubah orang. Saya baru menyadari bahwa itulah sumber penderitaan saya dalam tiga pekan belakangan. Kelewat ingin menyampaikan bermacam-macam urusan, saya lupa bahwa aturan utama dalam menulis bukanlah menanamkan ide di kepala orang. (paragraf 3, hal. 49).
Membaca tulisan ini justru membantu saya mendefinisikan ulang, sebetulnya apa tujuan saya menulis? Saya bukan penulis seperti Dea, saya tidak pernah menerbitkan buku. Saya hanya menulis di blog saya secara reguler dan kebanyakan bercerita tentang buku-buku yang saya baca, karena keseruan dalam hidup saya sekarang kebanyakan saya dapatkan dari membaca. Namun tulisan ini membantu saya, untuk juga mencari tahu tujuan saya menulis.
Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, tulisan kedua yang saya sebutkan tadi, adalah tulisan yang mungkin paling dekat dan paling jauh dengan saya di buku ini. Paling dekat karena tulisan ini adalah sebuah review buku. Satu hal yang saya juga lakukan selama ini baik di Instagram maupun di blog ini. Namun juga paling jauh karena saya sadar diri akan kualitas review saya dan Dea. Mengkritisi tulisan atau buku buat saya adalah hal yang sulit dilakukan, biasanya saya hanya menuliskan kalau buku ini tidak relevan untuk saya saat ini. Mungkin saya takut mengkritisi penulis (?) Mungkin ya, atau mungkin saya memang tidak punya cukup banyak referensi bagaimana mengkritisi sebuah karya tapi juga memberikan referensi yang apik agar kritik tersebut berdasar.
Intinya, saya jadi banyak belajar, saya jadi haus menuliskan lagi review yang tak sekedar pengalaman membaca saya lalu sudah selesai, tapi juga ingin mengaitkan bacaan tersebut dengan pengalaman saya, atau mungkin dengan bacaan lainnya. Karena saya suka membaca tulisan Yang Menarik dan Tidak Menarik dari Pulang, dan saya ingin bisa menulis sebagus ini suatu hari nanti.
Semoga, ya semoga.